The Beast

39.1K 1.3K 100
                                    

"Kamu kenapa Sab? Kok tampang lo kaget begitu?"

Sabrina, gadis yang ditanya Stephanie barusan tidak menjawab, melainkan memaksa seulas senyum di wajahnya yang kaku.

"Sab? Lo kenapa? Kok lo jadi pucat gini?"

Naela, teman dekat Sabrina lainnya kembali bertanya hal yang sama sambil menatapnya dengan heran. 

Sabrina menelan ludahnya dengan susah payah, dan berkata, "Engga. Gue kaget aja tadi Dom tiba-tiba kasih tahu gue kalau dia sakit, terus gue khawatir aja."

"Ya ampun, gue kira ada kenapa-napa! Lo tampangnya uda kaya' mau dibunuh!"

"Iya loh! Ya ampun, Lo dan Dom cepetan nikah deh! Dom itu cuma sakit ga kecelakaan Sab. Lo kayaknya terlalu cinta sama si Dom!" tambah Naela, teman sebangku Sabri dari SMA sampai sekarang - karena mereka mengambil jurusan yang sama di salah satu universitas negri di Singapura. 

Sabrina tertawa sumbang mendengar celutukan-celutukan sahabatnya. Kali ini Sabrina berusaha keras untuk mengontrol ekspresi wajahnya seceria mungkin agar dia tidak dicurigai. 

Bukannya Sabrina ingin mengrahasiakan apa yang telah terjadi kepadanya selama beberapa tahun terakhir ini, hanya saja Sabrina masih enggan. Dan juga rasa takut yang selalu menghantuinya setiap malam. 

----

Sabrina menekan tombol panel di lift dengan jari tangannya yang dingin. Sejak ulang tahunnya yang ke dua puluh minggu lalu, Sabrina merasa hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. 

Setelah sampai di lantai yang dituju, Sabrina melangkah keluar dengan perasaan takut yang amat sangat. Sabrina ingin, ingin sekali kabur detik ini dan meninggalkan semua kenangan buruk yang terjadi di salah satu apartemen di lantai teratas ini namun dia tidak bisa. 

Dengan keadannya yang hanya sebatang kara, mengandalkan dirinya sendiri tidaklah cukup. Mulanya Sabrina mengira pria tersebut akan membantunya, mengingat pria itu selalu melindunginya sejak awal mereka berkenalan. Akan tetapi, pada akhirnya, pria itu hanya memanfaatkan dirinya untuk kepuasan dan kesenangannya dengan licik.

"Kenapa kamu lama sekali?"

Suara tersebut membuat jantung Sabrina berpacu tiga kali cepat dari biasanya. Rasa takut dan sakit itu kembali menyerang pikirannya. Sabrina masih mengingat jelas bagaimana pria di depannya memaksakan kehendaknya di malam ulang tahun Sabri yang ke-dua puluh. 

Sabrina memejamkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat agar gemetar tangannya bisa mereda. Ketika Sabrina membuka pelan kedua matanya dan menguatkan dirinya untuk menghadapi pria brengsek di depannya, pria tersebut sudah berada tepat di depan Sabrina dan berbisik tepat di telinganya, "Are you afraid of me? Little Sab-Sab?"

Sabrina menahan nafasnya, dan hanya berdiri kaku ketika pria tersebut mulai meraba-raba tubuhnya. Dalam sekejap, tubuh Sabrina sudah terpajang polos di depan pria tersebut. Pria tersebut lalu menciumnya dengan panas, melumat bibir tipisnya dan memaksa masuk ke dalam mulutnya. Pria tersebut kerap menghisap bibir bawah dan atasnya bergantian dan menginvasi mulutnya sehingga Sabrina kehilangan nafas sampai-sampai harus mendorong tubuh kekar pria yang sedang mencumbunya.

"Kalau dicium, bisa kamu balas ciuman aku?" 

Sabrina ingin sekali menangis, menangis sekuat mungkin karena dia tidak mengerti apa kesalahannya sehingga dia bisa diperlakukan sehina seperti ini. 

"Kamu ga mau menjawab?" tanyanya lagi sambil memegang dagu Sabrina agar Sabrina bisa bertatapan langsung dengan kedua mata gelapnya.

Sabrina yang sudah terisak daritadi hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan lemah. 

Hello, Love (OneShot Collection)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang