The Mr. Right

8.7K 543 22
                                    

Aku menghela nafas.

Malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya. Malam dimana aku menjadi masochist, menyakiti diriku sendiri dengan membuka kotak kenangan yang sudah kusimpan rapat-rapat selama beberapa tahun belakangan.

Aku mengambil ponsel lamaku, dan login ke akun BBM-ku. Aplikasi itu sempat booming beberapa tahun yang lalu, dan aplikasi itu menjadi saksi betapa bahagianya aku kala itu.

Betapa senangnya mendengar bunyi notifikasi dan mendapati bahwa pengirim pesan tersebut adalah Dia.

Aku tahu, sudah seharusnya aku meng-delete semua kenangan yang kupunya, dan sekalipun aku tahu kalau membaca kembali chat-chat tersebut hanya akan membuatku semakin gundah, aku tetap melakukannya.

Aku tersenyum membaca chat di tahun 2012. Enam tahun yang lalu, dimana aku pertama kali menginjakkan kaki di negara asing yang rupanya telah menjadi rumah keduaku sekarang, dan Dia langsung buru-buru menghubungiku ketika aku mendarat.

Aku ingat, aku cukup takut untuk melanjutkan sekolah disini. Selain karena aku tidak pernah hidup sendiri di negara asing, aku juga sedikit tidak rela untuk berpisah dengannya. Memang, Dia sudah pindah ke ibukota untuk menyelesaikan pendidikan sekolah menengah tinggi dan kami memang tidak pernah memiliki status atas hubungan kami yang absurd.

Namun, setelah kami berdua selesai ujian nasional, Dia kembali. Dia kembali untuk liburan, dan aku bertemu dengannya. Menghabiskan waktu bersama-sama sampai kami berdua harus pergi ke negara yang berbeda untuk mengejar mimpi kami.

Awalnya, aku tidak merasakan ada yang ganjil karena kami tetap berhubungan. Kami rutin mengabari satu sama lain, dan terkadang, kami melakukan video call di weekend kalau kami tidak sedang sibuk dengan ujian ataupun project. Kapanpun aku merasa homesick, aku tahu aku tidak sendirian karena aku selalu mempunyai dia. Dia selalu mempunyai cara tersendiri untuk membuatku tersenyum, sekalipun itu mengirimkan link-link video lucu saat kami sedang melakukan video call dan saling memberikan aba-aba untuk menontonnya bersama-sama.

Aku tersenyum melihat foto kami yang dikirim olehnya di tahun ketiga aku berada di negara ini. Waktu itu, Dia datang berkunjung. Aku yang masih belum libur tidak mempunyai waktu begitu banyak, namun Dia selalu menungguku hingga aku selesai kelas dan menghabiskan sisa hari dengannya.

Foto tersebut di ambil di salah satu restoran kesukaannya, dan kami berdua tersenyum dengan lebar di kamera.

Aku kembali meng-scroll ke bawah, dan disitulah aku menyadari bahwa sejak dua tahun yang lalu komunikasi kami berkurang. Dia pergi ke negara yang lebih jauh lagi untuk melanjutkan pendidikannya, sementara aku yang lebih muda dua tahun darinya masih harus menetap di negara ini untuk menyelesaikan pendidikan S1.

Aku tidak tahu bahwa apakah kepergiannya yang membuat kami menjauh. Pernah, Dia mengunggah fotonya dengan teman perempuannya di salah satu media sosial yang membuatku menangis satu malam. Ketika aku bertanya kepadanya, dengan singkat dia menjawab perempuan tersebut adalah teman dekatnya.

Harusnya di saat itulah aku mengambil jarak darinya. Aku memang berusaha mati-matian untuk tidak menghubunginya sejak saat itu, namun semua pertahananku hancur ketika aku bertemu dengannya di kota asal kami di liburan akhir tahun itu.

Aku percaya kepadanya. Aku yakin bahwa perempuan itu tidak memiliki posisi spesial di hatinya. Aku yakin bahwa aku masih pemenangnya. Aku bisa melihatnya dari tatapannya terhadapku. Perlakuan hangatnya membuatku bahwa aku masih bisa menggantungkan diriku dengannya.

Tidak ada yang berubah dari kami setelahnya. Sekalipun dia kembali di sana, kami tetap rutin video call, dan seperti biasanya, dia sering mengirimkan foto tentang kesehariannya. Foto kamarnya kalau dia sedang bermalas-malasan, foto makanannya hari itu, ataupun foto dengan teman-temannya kala dia sedang traveling.

Hello, Love (OneShot Collection)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang