Aroma tanah sehabis hujan sungguh menimbulkan ketenangan tersendiri bagi penikmatnya. Dedaunan yang basah, kesejukan yang tercipta setelahnya menjadi candu tersendiri bagi siapapun yang sangat menikmati datangnya hujan.
Tetapi tidak dengan Renda. Kali ini hujan yang turun serasa mewakili perasaannya. Bulir air yang jatuh ke pipinya, hampir sama banyaknya dengan tangisan yang berusaha disembunyikannya. Tubuhnya basah. Entah sudah berapa lama ia berjalan tak tentu arah saat hujan turun dengan derasnya hingga perlahan reda dengan sendirinya. Saat menyadari hari mulai gelap, detik berikutnya ia mulai tersadar harus secepatnya tiba di rumah.
Rumah mereka --Renda dan ayahnya-- sangat sederhana. Rumah berwarna kuning gading dikelilingi berbagai macam tanaman membuatnya kelihatan asri. Pot-pot beraneka ragam bentuk berjejer rapi menghiasi taman mini yang sengaja didesain minimalis oleh sang pemilik rumah. Meski sederhana, tetapi menenangkan serta nyaman. Terdiri dari tiga kamar tidur, satu ruang tengah, dan satu ruang tamu beserta dapur.
Renda segera masuk ke kamar, begitu melihat asisten rumah tangga yang dipekerjakan ayahnya sudah di rumah untuk menyiapkan makan malam bagi mereka. Mbak Tuti namanya. Begitu Renda sering menyapanya. Wanita dengan usia akhir empat puluhan itu memang selalu datang sebelum jadwal makan tiba. Rumahnya yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah mereka menyebabkannya tidak sulit untuk selalu datang. Terkadang ia hanya datang pada pagi hari untuk membereskan rumah serta membuat sarapan, kemudian datang lagi saat siang hari untuk memastikan semua pekerjaan telah beres. Begitupun pada sore hari, dia akan datang menyiapkan makan malam dan membereskan pekerjaan kecil, lalu akan kembali lagi esok harinya.
Renda senang betah berlama-lama di dalam kamarnya. Kamar seluas empat kali empat meter itu disulapnya menjadi kamar yang mencerminkan kepribadiannya. Menampilkan keseluruhan dirinya secara utuh. Hampir semua dinding-dinding kamar dipenuhi dengan kertas lucu warna-warni. Tulisan-tulisan serta puisi-puisinya sejak masa remaja. Ia memiliki hampir puluhan gabus yang tertempel di dinding kamar yang memiliki warna dasar merah gelap kesukaannya. Ditambah dengan satu lemari penuh koleksi novel kesukaannya dan beberapa buku-buku sastra yang memang digemarinya.
Dulu ia sempat berpikir ingin memasuki dunia sastra dengan menjadi bagian di dalamnya. Entah masuk pada jurusan serupa ataukah masuk dalam jurusan yang memiliki kaitan untuk menunjang bakatnya. Akan tetapi keinginan itu musnah dengan sendirinya saat ia mulai tumbuh menjadi seorang remaja, saat semua angan-angan masa mudanya bermuara pada satu lelaki. Lelaki yang mengenalkannya akan rasa melankolis, muram tak tentu, selalu melamun, rindu ingin bertemu. Gejolak masa remaja yang mengantarkannya menciptakan banyak puisi dan harapan–harapan indah nan haru.
Angan-angan itu mengantarkannya pada sebuah tujuan pasti. Ingin lelaki itu menjadi miliknya. Ingin lelaki itu tertarik padanya, ingin lelaki itu tersenyum selalu untuknya, dan merasakan kehadirannya. Sungguh sebuah mimpi yang selalu ia jaga agar selalu tumbuh dengan suburnya.
"Hai gadis kecil, apa yang sedang kau lakukan sendirian duduk di sini? Mana orang yang bersamamu?"
Renda remaja yang disebut gadis kecil sedikit memberenggut. Bukan kali ini saja ia sering disebut gadis kecil diusianya yang sudah menginjak lima belas tahun. Bahkan ini tahun ketiga ia telah resmi menjadi seorang gadis, serta rutin mendapatkan tamu bulanan tiap bulannya.
"Jangan panggil aku gadis kecil."
Dwi tersenyum. Anak kecil itu mengingatkan ia pada adik perempuannya. Tapi entahlah. Sepertinya gadis kecil ini lebih sedikit muda, mengingat ukuran tubuhnya yang menunjukkan dirinya sebagai seorang anak gadis di akhir sekolah dasar mungkin saja, pikirnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku mengubahnya. Bagaimana kalau cantik? Apa kau suka?."
Renda remaja yang kemudian mengangkat wajahnya, tertegun sejenak lalu memandang lelaki di hadapannya. Ia tersenyum dan merona malu. Baru kali ini ia mendengar panggilan cantik keluar dari seorang lelaki. Dadanya berdebar. Jatungnya bergemuruh cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulir cinta Dwi Renda
RomanceDwi sasono amran. Berbeda dengan kakaknya eka perwira amran. Dwi Pria ramah, perhatian, teduh, penuh kasih sayang dan sungguh menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita disekelilingnya.Dia seolah tak peduli dengan keadaan sekitarnya. Baginya dunia te...