Hambatan itu bernama ketakutan

10.1K 685 41
                                    

Kamuuu...tak tahu..
Rasanyaa...hatiku..
Saat berhadapan...
Kamu...

(Kotak, masih cinta)
-***-

"Tunggu". Suara Dwi memecah keheningan. Semua peserta yang hadir di aula memerhatikan dengan seksama apa yang akan dikatakan senior abadi yang seharusnya sudah keluar dari kampus lima tahun lalu itu.

Tubuh Renda menegang, ia mendadak meriang manakala namanya terdengar lagi menggema dalam aula itu. Kedua tangannya terkepal erat. Tak ada rasa sakit yang dirasanya. Rasa sakit akibat cengkraman erat kuku pada kulitnya terasa hambar. Ketakutan lebih mendominasi. Berbagai praduga muncul berseliweran dalam pikirannya. Pelan tapi pasti ia mulai mencari tahu maksud dari lelaki itu kembali memanggilnya. Tak cukupkah setelah seharian tadi ia telah mempermalukan diri sendiri, jangan lagi kali ini.

"Sekalian...pulanglah, ambil semua barang-barang bawaan. Sebentar lagi materi akan saya akhiri". Wajah Dwi berubah serius saat kembali mengumamkan beberapa nada perintah kepada beberapa panitia yang terlihat mangut-mangut saja mengikuti instruksinya. Lalu pengumuman kembali datang agar kegiatan dilanjutkan esok hari melihat hari hampir sore dan cuaca tak lagi baik.

Renda,mendesah lega. Beribu-ribu beban terasa terangkat dari bahu nya. Tak ada yang lebih menguntungkan ketimbang melewati kondisi ini. Yang ia rasakan saat kakinya melangkah keluar aula, angin berhembus dengan kencang. Langit menghitam petanda sebentar lagi akan turun hujan. Bersyukur dalam tas tadi ia sempat memasukkan jaket anti air hingga tak perlu terlalu kawatir akan guyuran hujan, hanya menunggu rinai nya tak terlalu deras agar bisa menembusnya.

Satu persatu para panitia terlihat sibuk membenahi perlengkapan saat acara penyambutan tadi. Para mahasiswa baru yang juga teman seangkatan Renda mulai berani berlarian menembus hujan. Beberapa ada yang nekad menaiki roda dua nya tanpa memperdulikan deras hujan, beberapa lagi cukup beruntung karena memiliki mobil hingga dapat menawarkan tumpangan kepada teman-teman yang lain. Mayang yang lebih dahulu pamit saat itu karena membawa jas hujan, meninggalkan Renda yang lebih memilih halte depan kampus untuk menikmati tumpahan air yang jatuh dari langit. Ia tak mungkin melewatkan hujan kali ini. Hujan pertama bulan ini, mengawali hari-harinya dikampus ini.

Kelegaan terasa memenuhi dirinya karena berhasil melewati hari ini. Ia bahkan selalu percaya Tuhan memang selalu mengeluarkan bantuan disaat yang tak terduga. Biarlah urusan esok dipikirkannya esok. Ia pasti akan menemukan cara untuk menghindar lagi jika berhubungan dengan pencarian pemilik surat itu. Pasti.

Tiba-tiba Renda merasakan ada seorang wanita yang mengambil tempat disampingnya. Sepertinya ia merupakan senior dikampus tempat Renda akan memulai warna lain dari perjalanan hidupnya. Terlihat dari lipatan baju almamater yang dimasukkannya kedalam tas ransel yang juga dibawanya. Renda terpesona melihat pembawaan wanita yang ia nilai sebagai seniornya.

"Hai". Wanita itu menyapa Renda terlebih dahulu.

Renda hanya bisa menganguk dan memperlihatkan senyum nya. Tak ingin banyak mengeluarkan kata-kata.

"Semoga betah ya dikampus ini, lewati saja prosesnya. Jangan bawa serius, seperti apapun kau bawa beban mu, namanya tetap saja beban dan tidak akan berubah. Jadi bawalah dengan santai semua bebanmu".

Renda terperangah melihat senyum wanita yang seperti mulai mengajak nya bicara lebih dekat. Ada aura yang tak biasa yang ditangkap Renda ketika wanita itu bicara. Ia mulai tersenyum menanggapi, bersyukur ada lagi yang dikenalnya dikampus ini. Selain orang yang menambah deru jantungnya tadi.

"Iya kak. Teriamakasih".

"Siapa namamu? Aku Dara". Seloroh wanita itu dan mengajaknya bersalaman.

Bulir cinta Dwi RendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang