lanjutan lagi

7.7K 463 11
                                    

sambil menunggu, saya mengupdate story ini beberapa bagian ya.

silahkan cek juga untuk ballonist, saya sempatkan untuk update beberapa paragraf.

semoga suka.

seperti yang saya katakan pengiriman mulai 29 hingga awal mei untuk yang PO dari desember hingga januari. semoga tidak ada lagi kendalanya. oh iya, ini penampakan goodybag untuk 350 yang beruntung, support by himawari craft.

yang ingin melakukan pemesanan, silahkan hubungi toko buku online yang saya tempati bekerjasama. karena beberapa sengaja memesan lebih.

 karena beberapa sengaja memesan lebih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

******

"Bagaimana rencana selanjutnya, Bang?"

"Setelah kau memastikan telah berhasil memiliki stasiun itu, baru kita bicarakan bagaimana menggodok tim dan konsep. Kita tidak memiliki waktu untuk rekrutmen. Sejauh ini yang bisa kita lakukan, hanya memakai sumber daya lama yang masih produktif dan memanggil beberapa kawan yang memiliki ide yang sama."

"Itu bisa dilakukan secepatnya. Aku meragukan kali ini akan mendapat bantuan dana. Dan seorang Eka Perwira sangat susah untuk diajak bernegosiasi"

"Hhhh...pasti kau bisa mengatasinya, kalian masih sedarah, sejauh ini hanya itu hambatan utama. Yang lainnya bisa diatasi ketika hambatan utama tadi teratasi."

"Yang pasti jika rencana ini berhasil, Abang satu-satunya orang yang memiliki andil besar terhadap besarnya rencana ini."

"Jangan senang dulu. Jalan kita masih panjang. Merubah pola pikir masyarakat mengenai media itu sangat sulit. Setidaknya ketika kau membeli sebuah stasiun yang hampir bangkrut, kau tidak memerlukan upaya besar untuk mengenalkannya secara luas pada masyarakat. Hanya harus siap merombak seluruh program acara serta konsisten memperbaharuinya setiap saat."

"Semoga saja. Minggu depan setelah aku selesai dari kampus itu, semua sumber daya yang kubutuhkan akan segera kukumpulkan."

"Aku baru saja ingin mengatakan bahwa seusiamu bahkan ada yang telah menyelesaikan program Doktornya, sedang kau? Jangankan selesai. Skripsi saja tidak pernah selesai. Berapa kali pindah kampus. Ini tahun sudah tahun kesepuluhmu."

"Aduh, Bang, berhenti membahas hal itu. Kau hampir sama dengan kakakku ketika membahasnya."

"Minimal demi siapa itu namanya? Pacarmu. Si Dara itu, tentu kau ingin membina sesuatu yang serius dengannya bukan?"

"Cukup serius Bang, sampai kami memiliki impian bersama, mungkin setelah ia lulus tahun depan aku berencana ingin melamarnya."

"Yah..jalanilah. Mungkin dengan bantuan tujuan kau bisa lebih mudah untuk mencerna seperti apa kehidupan yang kau inginkan."

"Beginilah resiko berbicara dengan orangtua. Nah...Abang sendiri semenjak dikeluarkan dari stasiun DTV dan putus dari Rina belum ada kabar lagi mengenai pendamping."

"Pendamping bisa nyusul kalau pekerjaan sudah mapan. Mau buat aku malu melamar anak orang tanpa masa depan? Minimal ada pekerjaanlah. Keluargaku bukan macam keluargamu. Aku ini anak tertua dari tujuh bersaudara."

"Sudah. Tak usah membahas dan membawa nama keluarga. Jika nanti urusan ini berhasil. Aku tidak mau stasiun ini dikaitkan dengan nama keluargaku."

***

"Berapa yang kau butuhkan?." Eka Perwira mengangkat wajahnya. Bersitatap dengan adiknya.

"Cukup banyak hingga aku rela membuang semua egoku dan mendatangimu." Baru sekali ini Dwi melihat langsung, bagaimana rupa kakaknya ketika berada di kantor. Dan menyeramkan bukan kata yang berlebihan.

"Nominal dan kegunaan?"

Dwi menghela nafas sekali lagi sebelum berucap. Dia yakin kali ini akan ada reaksi tambahan saat ia berani menyebutkan nominalnya. "Aku membutuhkan sekitar 11 milyar." Tak ayal ucapannya langsung membuat aktivitas yang dilakukan Eka Perwira berhenti seketika.

"Itu bukan dana sedikit. Perlu tahunan untuk sebuah perusahaan mengumpulkan laba sebanyak itu." Eka Perwira bangkit dari kursinya dan membuka botol air mineral yang ada di atas meja.

Reaksi yang dikeluarkan Eka Perwira, sudah bisa ditebak Dwi Sasono. Ia hanya perlu sedikit lebih meyakinkan jika ingin apa yang diharapkan dapat tercapai. "Aku tak mengatakan itu jumlah yang sedikit. Aku membutuhkan sekitar 11 milyar untuk membeli sebuah stasiun televisi yang hampir bangkrut."

"Jika nenek mengetahuinya, ini pasti tidak akan pernah diijinkan." Eka mencoba mengorek lebih banyak emosi adiknya. Ia tentu lebih tahu karena mereka sama-sama lelaki.

"Tentu nenek tak boleh tahu. Aku hanya bisa menjamin dapat mengembalikannya secara bertahap selama lima tahun. Itupun kalau kau mempercayaiku." Dwi berupaya memperhalus proses negosiasi. Berat jika berhadapan dengan negosiator ulung. Ia tak tahu siapa kelak yang akan menaklukkan ego kakaknya itu. Bahkan saat telah menikah pun, tak ada yang berbeda darinya.

"Baiklah, asal kau menjamin tidak akan berulah lagi. Kita perlu menyelesaikannya secara profesional. Meski kau adikku. Bisnis ini dibangun di atas jerih payah, bukan hasil duduk-duduk semata." Penekanan disetiap kata-kata yang dikeluarkan sang kakak, menambah kekaguman Dwi padanya. Kali ini ia setuju mengapa neneknya cukup cerewet dalam mencarikan pendamping bagi kakaknya.

"Jadi? Kapan aku bisa menerima kucuran dana?" sambung Dwi lagi.

"Setelah sidang skripsi dan menandatangani kesepakatan pengembalian pinjaman secara bertahap."

Dwi maju selangkah mendekati kakaknya. "Sidang masih minggu depan dan masih memiliki banyak perbaikan. Dana itu harus kuterima paling lambat dua hari ini jika tak ingin informasi bahwa stasiun itu dijual sampai ke telinga pemilik modal besar."

"Keputusanku final. Selesaikan sidang akhirmu. Dan kita ketemu dua hari lagi. Kalau kau cepat, bahkan lima hari pun perbaikan itu bisa selesai. Asal kau mau," ucap Eka Perwira retoris, berkacak pinggang sambil melayangkan pandangan ke arah Dwi.

Akhirnya setelah bernegosiasi panjang lebar, Dwi pun keluar dari kantor itu dengan perasaan tak tentu. Sungguh benar, bahwa kakaknya memang mengerikan. Lebih mengerikan ketimbang kakeknya. Bahkan ia tak lagi membalas pandangan orang-orang yang menatapnya dengan pandangan heran. Yah. Ia lebih dari sekedar tahu bahwa ia kerap kali dibandingkan dengan kakaknya, bahkan ada yang tidak percaya bahwa mereka lahir dari rahim yang sama. Dan pada akhirnya jika ada yang menanyakan, ia lebih suka disebut ajudan. Terlalu malas meladeni orang-orang yang menilai sesuatu yang berdasarkan tampilan luar semata.

Dwi memutuskan lebih baik berkunjung ke kontrakan Dara. Wanita itu selalu menyejukkan hati dan pikirannya. Perkenalan mereka bukan tanpa sengaja. Dwi mengejarnya. Ia sangat tertarik dan menyukai wanita itu. Windrasdara Bolman. Wanita yang menurutnya akan tabah mengimbangi sifat kekanak-kanakannya. Dan telah menjadi teman berbaginya dalam segala hal. Wanita itu merupakan dunianya.

"Nggak bilang-bilang Mas, kalau mau datang. Untung aku belum keluar. Mau beli perlengkapan buat KKN nih."

Dwi tersenyum menyambut kedatangan wanita yang selalu mencuri perhatiannya ini. "Aku antar kalau begitu. Hujan sudah reda," ungkapnya sembari menengadah ke langit. Seraya menyerahkan sebuah helm berwarna hitam agar dikenakan oleh Dara

Penampilan Dara kali ini sangat simple. Hanya berbekal dengan celana jeans dan jaket tebal berwarna hijau zamrud kesukaannya, hati Dwi sudah berbunga-bunga karenanya. Manis, simple, praktis, dan tentu saja cerdas. Itulah hal yang membuatnya tak ragu mengungkap cinta pada wanita yang telah dipacarinya selama dua tahun itu.

Dan dirinya tak sabar untuk menjalankan rencana pembelian stasiun DTV, dan segera memperkenalkan wanita itu di hadapan neneknya.

*****


semoga kekecewaan kalian sedikit berkurang, akibat menunggu novel amatir karya saya.

selamat ber hari senin.

Bulir cinta Dwi RendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang