#6 The Secret Message

471 18 14
                                    

"Kau tahu? Jatuh itu menyakitkan."


***

(Malam sebelum hari terakhir MOS)

Jarum jam menunjukkan pukul 23.45 WIB. Hanin masih terjaga. Dia sedang duduk di kursi belajar yang telah bertransformasi menjadi kursi malasnya malam ini. Selama lebih dari sejam yang lalu dia sama sekali belum beranjak dari posisinya saat ini. Di atas meja tergeletak amplop berwarna pink dan dua lembar kertas putih yang salah satunya sudah penuh dengan coretan-coretan cakar ayam. Tangan kanannya mencengkeram pulpen bertinta biru dengan kuat seakan jika lebih keras sedikit lagi ia akan mematahkan dengan jari jemarinya.

"Unfaedah banget sebenarnya. Buat apa coba nulis surat kayak gini? Kayak zaman dulu aja pakai surat-suratan segala."

Hanin langsung meremas kertas yang tadinya penuh dengan coretan dan dilemparkannya ke tong sampah.

"Mana gue nggak tahu harus nulis surat yang ini ke siapa lagi," Hanin nampak frustasi sambil mengacak-acak rambutnya yang terurai.

Memang, hal yang membuatnya bingung setengah mati adalah kepada siapa suratnya akan ditujukan. Masalah isinya, tentu akan mengikuti tergantung siapa penerima surat itu. Terlebih dia merasa tidak ada satu pun pengurus OSIS yang menurutnya istimewa yang berhak mendapatkan surat beramplop pink. Menurutnya semua kelihatan biasa-biasa saja.

"Apa gue kasih ke Kak Putri aja, ya? Selaku pendamping kelompok gue juga," Hanin mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja.

Akhirnya dia mengambil kertas putih yang masih kosong dan langsung menuliskan beberapa goresan kalimat di atas kertas. Setelah dirasa cukup, dia langsung melipatnya dan memasukkan ke dalam amplop pink. Dia hendak menyimpannya di dalam laci meja ketika matanya mendapati sebuah surat beramplop hitam yang sudah sedari tadi tergeletak di dalamnya.

Hanin terdiam sejenak, "Baiklah, apa pun yang gue tulis. Gue siap dengan segala konsekuensinya," katanya mantap.

Hanin pun akhirnya memutuskan untuk langsung menaruh kedua suratnya ke dalam tas kresek untuk menghindari adanya kelupaan. Setelah mengecek semua perlengkapan, dia langsung beranjak naik ke tempat tidur. Sebelum memejamkan kedua matanya dia berdoa dengan sungguh-sungguh agar besok akan menjadi hari terakhir MOS yang menyenangkan bagi dirinya dan teman-temannya.

***

Galih baru saja melihat bunyi baris pertama isi surat tersebut. Sejenak dia tampak sedikit kaget, sedetik kemudian dia langsung tersenyum dan mulai membacakan isi surat itu dengan hati-hati.

"Surat beramplop hitam ini ditujukan kepada Kak Orion El-Muwaffiq...," Galih memberikan penekanan kepada nama yang dia sebut.

"Lho, bisanya Kak Rio yang dapat surat amplop item, ya?" tiba-tiba Novi berbisik di sebelah telinga Hanin.

Hanin yang sebelumnya masih fokus meremas-remas jemarinya yang gemetar sontak kaget dan langsung mempelototi Novi.

"Langsung saja saya bacakan kelanjutannya," Galih memecah keheningan.

"Isi surat yang tertulis di sini adalah 'Parasmu adalah Puisi yang Dituliskan Hujan'. Wah sepertinya ini judul puisi, ya?" Galih nampak berpikir-pikir.

Parasmu adalah Puisi yang Dituliskan Hujan

begitu tenangnya dunia, terlelap bersama bintangbintang

dan rinai doa yang berjatuhan

menambatkan harmoni pada altar peradaban.

The Missing LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang