Play the video, please!
***
Saat seperti inilah yang paling kunanti. Di mana kami berjalan berdua sambil mendorong sepeda di sepanjang tepian sungai. Biasanya aku akan sangat bersemangat mengobrol dengannya, tapi saat ini entah kenapa kami berdua seolah kehabisan bahan obrolan. Yang kami lakukan hanya berjalan perlahan sambil sesekali menikmati mentari yang hampir terbenam di ujung barat sana.
Riak air yang mengalir di sungai kecil ini menjadi pemecah hening antara kami. Menenangkan sekaligus membuatku semakin gelisah. Apalagi jembatan mini yang membelah sungai sudah mulai terlihat. Itu artinya setelah melewati jembatan itu, jalan pulang kami akan berbeda arah. Aku berbelok ke kiri sedang dia ke kanan.
Bunyi 'tap' sepatu hitamnya menyadarkanku bahwa kami sudah menginjakkan kaki di jembatan kayu ini. Ketika berada pas di tengah jembatan, dia berhenti. Aku agak terkejut saat dia berhenti tiba-tiba seperti itu. Dia berbalik dengan sebuah senyum menghias wajahnya.
Ada sesuatu yang mengganjal hatiku sejak semalam. Kala Ibu memberitahuku tentangnya. Ingin kutanyakan itu segera, tapi aku tak tahu harus memulai dari mana. Namun rasanya inilah kesempatanku untuk bertanya mengenai hal itu. Karena jika tak segera bicara, mungkin aku akan menyesal nantinya. Oke, Shinta, ayo keluarkan suaramu!
Uh... sejak kapan lidahku bertulang? Begitu kaku untuk mengucap sebuah kata saja.
Helaan napas beratnya membuatku mendongak, kembali menatapnya. Aku sudah tak tahan lagi.
"Kenapa?" tanyaku lirih.
Dia menoleh sebentar sebelum kembali memandang sungai yang memantulkan semburat jingga yang bersumber dari matahari. "Aku tidak apa-apa," katanya.
"Aku tidak menanyakan keadaanmu. Aku bertanya, kenapa?"
Kerutan di dahinya mulai terlihat. Meski dia tak menoleh lagi padaku, tapi itu cukup terlihat jelas dari samping.
"Kenapa kau tidak memberitahuku? Bahkan aku tahu hal ini dari Ibu. Bukan dari mulutmu sendiri. Sahabat macam apa kau ini?" lanjutku sedikit berapi-api.
"Posisiku tidak menguntungkan, Shinta."
Aku mendengus sebal. "Kau tetap saja egois. Kau tahu, Devin? Aku berhak mencakar wajahmu kapan saja. Tapi mengingat apa yang kau derita, rasanya aku harus menunda itu."
Dia tertawa seperti biasa. Tawa yang renyah. Dan yang membuat tawanya semakin spesial adalah, dia selalu memberikan tawanya padaku, dengan cara menatapku. Mata bertemu mata.
Omong-omong soal mata, aku menyukai matanya lebih dari bagian tubuhnya yang lain yang tak kalah memesona. Apalagi saat dia berbicara tentang impian. Baik itu impiannya sendiri, impian kami, impian orang tuanya bahkan impian orang lain. Aku melihat mata itu lebih hidup saat dia membahasnya.
"Jangan tertawa! Kau bisa tersedak ludahmu sendiri. Aku tidak mau bersusah payah menggotongmu ke puskesmas. Bobotmu tetap terlalu berat untukku meski kau jauh lebih kurus dari dua bulan yang lalu," ujarku sinis tapi masih dalam batas gurauan.
Dan tawanya makin keras. Bahkan dia sempat mengacak-acak rambut bagian atasku. Hatiku sesak. Bagaimana mungkin dia setegar itu?
"Kapan kau akan bertolak ke Singapura?" tanyaku kemudian. Saat mengatakannya, aku merasa suaraku sedikit tercekat.
"Insha Allah lusa."
"Wah, padahal besoknya lusa cap tiga jari ijazah dan SKHU, lho. Apa tidak bisa ditunda sehari saja?"
Tentu saja tidak bisa, bodoh!
"Haha. Jika bisa, aku akan menundanya untuk selamanya. Aku tidak akan pergi ke sana. Kecuali jika bersamamu." Dia mengulum senyum indahnya sambil menatapku.
YOU ARE READING
Kumpulan Wansut
Hayran KurguIni kumpulan OS, hailaaaa... Wkwkwkw Btw, itu cover-nya menggambarkan saya yang berkarakter 'back to nature' (?), jadi gakusah protes jikalau tidakenak dipandang. Karena saya suka yang natural. Bwehehehehe