part 8: meet

86 20 2
                                    

"Raisya jangan seperti anak kecil deh, mama cape nih!" Kaile masih berusaha menyuapkan makanan untuk Raisya meskipun tidak ada satupun bujukannya yang berhasil membuat Raisya membuka mulutnya.

"Mama, Rai belum lapar. Nanti kalau laper bisa makan sendiri."

"Ngga bisa Rai kamu harus makan sekarang, udah waktunya kamu makan." seru Kaile masih dengan sendok di tangannya. Raisya hanya bisa menghembuskan nafas gusar melihat kegigihan mamanya. Okay, i'll try something.

"Rai mau makan, tapi di taman!" mendengar perkataan anaknya membuatnya sumringah. Kaile langsung mencari Milon untuk mengurus keperluan Rai pergi ke taman belakang rumah sakit.

Milon datang dengan dokter yang biasanya memeriksa Raisya. Ada beberapa bagian yang di periksa dokter termasuk luka-luka yang ada di tubuh Raisya, setelah selesai dokter mengangguk ke arah Kaile dan Milon tanda Raisya di perbolehkan keluar dari kamar, "Tapi ingat ya bu, jangan sampai lelah apalagi Rai mengeluh sakit."

"Baik dok." ucap Kaile begitu bersemangat.

"Mama bantu Rai duduk di kursi roda ya." Kaile membantu Raisya merubah posisinya menjadi duduk dan menahan beban Raisya saat berdiri.

"Aduh Rai! ternyata kamu berat banget sampe otot mama keluar. Papa tolongin mama ngangkat Rai!" pekik Kaile saat ingin terjatuh lemas di lantai, dan dengan sigap Milon membopong Raisya dari Kaile yang sudah terduduk di bangku terdekat, dengan pelan Milon mendudukan Raisya di kursi roda.

"Halah kamu sih berlebihan banget." Kaile memalingkan mukanya dari suaminya, merasa malu dengan kelakuannya tadi, Raisya hanya terkekeh pelan melihat kelakuan kedua orangtuanya.

"Yeah, i hear you dad, just do it but not with your mouth!" seru Kaile jengkel.

"Yaudah papa aja yang dorong." dengan pelan Milon mendorong kursi roda Raisya menuju pintu. Sayup-sayup terdengar bunyi berisik orang berdatangan dari luar membuat Raisya penasaran.

"Ada apa di luar pa? apa yang terjadi?" Raisya semakin penasaran. Saat pintu kamar di buka terlihat dengan jelas dokter dan perawat mondar-mandir berlari kecil ke arah sebelah kamarnya, Raisya mengernyit bingung.

Raisya menyuruh papanya mendorong kursi rodanya ke muka pintu kamar disebelahnya itu, penasaran dengan pintu yang terbuka sedikit dia menajamkan pandangannya ke dalam ruangan itu, sayup-sayup mendengar dokter menghitung berulang kali. Matanya memindai bahwa ada seorang perempuan memakai pakaian rumah sakit sama sepertinya sedang terbaring lemah dengan dokter yang sedang melakukan penyelamatan medis, dada perempuan itu naik turun. Dia mencoba melihat wajah perempuan itu, dan seketika tubuhnya menegang membuat papanya sedikit khawatir melihat perubahan raut wajah anaknya.

"Rai, kamu nggak apa-apa?" Milon mengguncang tubuh Raisya pelan, tetapi Raisya tidak merespon.

"Rai sadar! kita balik aja ya." ketika Milon ingin memutar balik kursi roda yang dinaiki Raisya tiba-tiba Raisya berseru histeris sambil menunjuk seseorang yang berada di dalam ruangan itu.

"Anora pa Anora!" Raisya menunjuk seorang perempuan yang sedang terbaring di dalam ruangan membuat Milon mengernyit bingung, Milon langsung mengedarkan pandangannya mencari siapa yang di maksud anaknya itu dan terkejut saat mendapati orang itu adalah pasien yang sedang koma sekarang di dalam sana. Siapa dia? teman Raisya? tapi anak itu tidak pernah aku temui sebelumnya.

"Itu teman Rai?" gumamnya tanpa sadar.

"Iya pa dia teman Raisya, teman baik Raisya. Bahkan Raisya juga yang membuatnya sedih sampai begini." Milon bingung bukan main melihat anaknya bisa berubah drastis seperti ini, tatapan Raisya hanya tertuju pada anak perempuan itu, tatapan terpukul dan rindu.

"Pa, bawa Raisya ke dalam pa. Raisya ingin melihat Anora!" tadinya Milon ingin membawa anaknya masuk sampai terdengar suara orang berlari sambil menangis histeris menyebut nama Anora. Mama dan papa Anora! berarti itu sudah pasti Anora.

"Tante, om!" dua orang yang tadinya berlari panik itu kini menatap Raisya dengan bingung, mencoba mengenali siapa yang memanggilnya tadi. Tiba-tiba perempuan itu terkejut dan setelahnya menghampiri Raisya dan Milon.

"Raisya? Raisya Mikaila? temannya Anora bukan?" tanya Syena ibunya Anora bertubi-tubi. Raisya menjawab sambil menganggukan kepala.

"Tan, Anora kenapa? apa dia seperti dulu lagi?" mendengar nama Anora di sebut membuatnya sadar kembali bahwa sekarang sedang terjadi sesuatu pada anaknya di dalam ruangan itu. Syena kembali berlari memasuki ruangan anaknya di rawat di susul Candra ayahnya Anora.

Anora sudah kembali stabil, dokter dan perawat yang ada di ruangan itu sudah bisa bernafas dengan tenang. Dokter yang melihat ibu dan ayah Anora langsung memberikan senyuman penenang sebelum menjelaskan apa yang telah terjadi.

"Anora baru saja melewati masa kritisnya, untung saja dia bisa kembali stabil. Kesedihan mempengaruhi kesadarannya, alam bawah sadarnya masih merasakan sedih yang mendalam. Kalau bisa anda lebih sering lagi mengajaknya berbicara yang bisa membuatnya senang, saya yakin dia bisa mendengar kalian. Kami akan lebih sering memeriksa perkembangannya." jelas dokter panjang lebar. Syena dan Candra mengangguk patuh mendengar nasihat dari dokter, sementara Raisya yang masih belum beranjak dari tempatnya mendengar semua yang di katakan dokter dan hatinya seperti di tikam dengan benda yang sangat tajam. Raisya memberanikan dirinya menatap kepada kedua orangtua Anora ingin bertanya.

"Tante, om." ucap Raisya serak. Raisya berhasil mendapat perhatian dari kedua orangtua Anora, Syena menundukkan badanya dan tersenyum tulus kepada Raisya meminta Raisya meneruskan perkataannya.

"Bolehkah saya melihat Anora? saya sudah lama tidak bertemu dengannya terlebih tanpa kabar dan setelah berhasil bertemu ternyata dia seperti ini. Bolehkah tante? sebentar saja." Raisya memohon dengan kedua tangannya di tangkupkan di depan dadanya, meminta izin.

"Boleh sayang. Maafkan tante yang selama ini menutupi kabar Anora dari teman-temannya, biar tante bantu." Syena menatap ayah Raisya meminta izin mengambil alih dan Milon mengangguk membiarkan Syena membawa anaknya.

Raisya mengerutkan keningnya saat melihat Anora dari dekat. Muka Anora pucat pasi, tidak ada rona lagi di wajahnya, badannya yang terlihat mengurus. Raisya tidak suka ini, ini bukan Anoranya.

Syena meninggalkan Raisya sendiri bersama Anora. Tangan Raisya tergerak untuk menyentuh tangan Anora, terasa sangat dingin. Dia tersenyum miris, ini semua salahnya.

"Anora, aku kangen. Aku tau kamu pasti tidurnya udah lamakan? temen kita semuanya sedih loh kalo tau kamu begini." Raisya menarik nafas dalam-dalam, susah untuk melanjutkan perkataannya. Di taruhnya tangan Anora yang dia genggam di pipinya.

"Aku tau ini semua salah aku, keegoisan aku. Aku lebih milih kamu yang marahin aku habis-habisan sambil mukul aku daripada kamu kaya gini. Aku mohon Anora, bangun!" setetes air mata jatuh tepat di tangan Anora yang sedang di genggam Raisya, mencoba menyalurkan rasa yang sedang di rasakannya.

Love & FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang