(17)

974 43 0
                                    

Hari itu, disebuah restoran, ayah mengajak keempat putrinya dan calon istrinya–Sarah–untuk makan malam bersama. Setelah memesan makanan, merekapun mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain.

Zira memandangi perempuan yang sedang duduk manis didepannya. Umurnya kira-kira dua puluh sembilan tahun. Wajahnya masih menampakkan kulit yang bersih tak terlihat keriput sedikitpun. Sesekali Sarah melemparkan seulas senyum kepada Zira.

Mungkin Tuhan punya rencana lain ketika memanggil Ibu dengan cepat. Tapi, Tuhan menggantinya dengan sesosok perempuan yang mirip sekali dengan ibu. Entah kenapa semua yang ada pada diri Sarah itu hampir sama dengan apa yang ada pada diri ibu. Dari fisiknya, gaya bicaranya, dan lemah lembutnya semuanya ada pada dirinya. Tidak, ibu tidak mempunyai adik. Ibu anak satu satunya.

Sarah memang belum pernah menikah, tapi jika dilihat ia punya kepribadian ke-ibu-an yang ada pada dirinya. Seperti sudah terbiasa mengurus rumah tangga. Itulah yang mereka semua harapkan. Seorang istri bagi ayah sekaligus seorang ibu bagi mereka berempat yang bisa menyempurnakan lagi keluarga mereka. Tidak hanya keluarga yang sejahtera tapi keluarga yang bisa menyalurkan pendapat maupun curahan hati setiap orang. Karna hanya dikeluarga lah rahasia tersimpan dengan aman dan tidak akan terbeber ke siapapun.

"Jadi ini anak-anak saya" ayah memulai pembicaraan. Zira, Tara, Dira dan Yara langsung tersenyum ketika Sarah-calon istri ayah memperhatikan kami satu persatu. Ia membalas dengan senyum mengangguk. "Yang ini Tara, ini Zira, ini Dira dan yang ini Yara-yang paling kecil" ayah memperkenalkan anaknya satu persatu dan tersenyum jahil ketika memperkenalkan Yara. Mendengar perkataan ayah, Yara memasang muka cemberut.

"Ayah, Yara kan udah gede. Udah kelas empat SD. Bukan anak kecil lagi" Yara melipat kedua tangannya didepan dada, sebal dengan perkataan ayah yang selalu mengatakannya anak kecil.

"Emang udah gede. Tapi kelakuannya masih kayak anak kecil. Baru digini'in aja udah ngambek. Emm.." ka Tara mencubit pipi Yara gemas.

"Ih apaan cubit-cubit. Sakit tau" Yara menjauhkan kepalanya membuat cubitan dari Tara terlepas. Ia menggosok-gosokan pipi sebelah kanannya. Membuat tontonan lucu ditengah obrolan yang sedang berlangsung.

"Dan kenalin ini Sarah yang pernah ayah bilang ke kalian" ayah menengok sekilas ke arah Sarah. Wanita itu hanya memberikan seulas senyum.

"Senang bertemu dengan kalian. Ayah kalian banyak cerita ke tante tentang kalian" Sarah melirik ayah. "Kalian cantik-cantik ya. Lucu lagi"

"Ah tante berlebihan" Tara mengibaskan tangannya. Merasa hanya dia yang dibilang cantik. Tara orangnya memang sensitif. Baru dibilang cantik sudah senyum-senyum nggak jelas. Padahal kata itu tidak hanya ditujukan ke dia, tapi juga ke mereka bertiga. Zira mendengus pelan.

"Bener kok kalian cantik-cantik. Pasti ibu kalian juga cantik" deretan gigi atas nya yang putih terlihat membentuk senyuman yang indah dipandang.

"By the way, tante itu mirip loh sama ibu" Zira memegang dagu sambil menyipitkan mata. Membuat Sarah melebarkan mata mendengar ucapan Zira.

"Iya bener" lanjut Dira mengiyakan.

"Oh ya? Masa sih?" Tanya Sarah tidak percaya. Bisa di lihat bibirnya berkedut keatas membentuk seulas senyum. Tak bisa di hitung berapa kali ia memperlihatkan senyuman diwajahnya.

Mereka semua memperhatikan Sarah termasuk ayah.

"Iya. Hidungnya sama..alisnya... bibirnya...trus senyumannya..itu mirip banget sama ibu" Tara melipat tangannya di atas meja dengan satu tangan yang menunjuk ke mata, alis dan bibirnya ketika menyebutkan kemiripan antara Sarah dan almarhumah ibu.

The Power Of Girls [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang