Story 10: Conflict.

28 4 0
                                    

Zora keluar dari Kafe dengan membawa sebucket bunga yang berada di tangan kirinya. Ia mencium aroma dari bunga itu. Wangi betul rupanya.

Di ujung jalan, nyatanya Zidane tidak kemana mana. Ia masih menunggu Zora keluar dari Kafe dan sampai Zora naik Taxi. Melihat hal itu, Zidane tersenyum.

*

Setiba dirumah, Zora berniat untuk langsung masuk kekamarnya. Melihat ayah ibu dan abangnya berada di ruang tengah. Ayah nya sedan menonton Televisi, ibunya di sampingnya. Sedangkan abangnya itu menatap layar ponselnya sedari tadi.

Malas rasanya untuk meladeni mereka. Karena Zora tahu kalau ia bergabung dengan mereka dirinya hanya sebagai 'kacang'.

Zora sangat tidak menyukai abangnya. Secara, abangnya itu selalu bermalas-malasan. Karena Zora satu-satunya anak perempuan di keluarga itu dari tiga bersaudara. Semua pekerjaan rumah selalu di tibani kepada dirinya.

Pernah sekali Zora berani angkat bicara soal 'keadilan' dengan ibunya. Tapi, ibunya malah menjawab "kamu itu perempuan, abang mu lelaki. Jadi, kalau lelaki ibu biarkan dia mau ngapain aja. Kamu kan kewajibannya ngebantuin ibu dirumah. Nyuci piring, setrika sendiri, nyuci baju sendiri. Dll."

Dan di perkataan itulah, psikis Zora mulai merasa tertekan. Zora merasa adanya ketidak adilan antara dirinya dengan abangnya itu.

Memang, ibu Zora sangat patuh kepada abangnya. Entah apa yang membuat dirinya begitu takut kalau ana pertama dari suami yang pertama pula itu marah.

Suami pertama? Ya! Abangnya dengan Zora lain ayah. Ayah dari abangnya itu sudah meninggal saat dia masih kandungan. Dan digantikan dengan suami yang sekarang ini. Zora merupakan anak pertama bagi suaminya yang sekarang ini. Jadi, tak heran kalau ayahnya sangat membela dan berpihak kepada Zora di bandingkan ibunya yang selalu patuh dan menuruti perkataan anak itu.

Sikap abangnya sangat menjengkelkan menurut Zora. Benci rasanya kalau berdekatan dengan abangnya itu. Kalian tahu? Mereka berdua tidak pernah sama sekali mengobrol satu sama lain. Kejadian itu dimulai saat Zora beranjak umur ke 6. Sama sekali tidak pernah berbincang.

"Zora, nanti cuci piring dulu tuh. Ibu ga sempet." ucap ibunya begitu Zora membuka pintu rumah.

"Bu, Zora baru pulang. Mau istirahat bentar. Cape bu." balas Zora mengerutkan sedikit dahinya.

"Kamu males banget si jadi anak. Ibu cuma nyuruh kamu nyuci piring kamunya malah ngebantah. Tapi, kalau kamu minta apa apa sama ibu. Ibu turutin kan?."

Zora terdiam. Hatinya begitu sesak.
Coba ibu sekali sekali nyuruh anak cowo kesayangan ibu itu kaya gitu. ga berani kan kalo ngga tuh anak marah marah. Batinnya.

Zora sebenarnya mempunyai niat untuk kabur dari rumah karena kondisi rumah nya tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Ia merasa dirinya hanya sendirian dirumah itu, setiap usaha yang diperbuat tak pernah dihargainya dengan ibunya.

Untuk kabur dari rumah memang tak sulit. Tapi, ia memikirkan biaya. Tak mungkin dia berhenti sekolah lalu mengemis ngemis dijalan. Tak mungkin dia kabur hanya karena hal sepele,ya sepele bagi realita tapi besar bagi psikis nya.

Hampir setiap malam lalu pagi, Zora menyuci piring dan memasak nasi. Menurutnya itu adalah hal kecil yang memang menjadi kewajibannya.

Karena ia tahu, kalau sekali tidak melaksanakan aktivitas kedua itu diatas. Keesokan harinya Zora tak akan mendapat uang saku dari ibunya. Dan sekali tidak melakukan pekerjaan di rumahnya, keesokannya ibu nya mendiami dirinya sekaligus memberi semprotan yang membuat hati Zora semakin sakit untuk menerima kenyataan hidup ini.

Hal hal yang membuat Zora muak dengan keadaan rumahnya:

Pertama.

Ketika abangnya itu bangun tidur(siang) pakaian kotornya di lemparkan begitu saja di pojokan lemari. Dan ibu tak pernah menggubrisnya karena hal itu. Sedangkan Zora? Menaruh handuk, pakaian kotor di kasur sebentar. Ibunya langsung memarahinya sampai 1 jam kedepan.

Kedua.

Ia harus melakukan semua hal sendiri. Nyuci sendiri, nyetrika sendiri. Sedangkan abangnya? Serasa ada pembantu baginya.

Ketiga.

Hal yang paling dibenci dalam hidupnya selama ini adalah melihat abangnya yang kerjaannya hanya Pergi-pulang-makan-tidur-pergi lagi-pulang lagi- makan lagi- tidur lagi. Dan begitu seterusnya entah sampai kapan. Tetapi, ibu membiarkannya.

Zora tahu, anak lelaki memang tak harus melakukan pekerjaan perempuan. Tetapi seenggaknya, anak lelaki itu juga mempunyai guna untuk membantu ibunya. Bukan bermalas-malasan.

Zora bukan tipikal anak yang suka curahkan hatinya begitu saja kepada kedua orang tuanya.

Semua yang ia rasakan. Saat itu juga dia memendamnya. Ga ada satu pun hal yang pernah di ceritakan kepada mereka berdua.

Keinginan curhat dengan kedua orang tuanya itu memang besar sekali. Tetapi, ia tahu betul ia lagi lagi di 'kacangin' sewaktu dia bercerita. Mau ceritanya panjang dan sedikiiittt pun.

Faktor yang membuat dirinya memendam semuanya adalah

First.

Curhat ke ayahnya mempunyai resiko yang sangat tinggi. Terlebih ayahnya adalah seorang yang sedikit berjiwa psychopath. Tetapi masih tingkat rendah. Keadaan ayahnya bisa berubah ubah dengan singkat waktu. Kadang baik kadang menjadi seseorang yang sangat mengintimidasi. Bahkan menjadi orang yang sangat tidak peduli dengan anaknya.

Kedua

Curhat dengn ibunya. Sangat impossible karena akan lebih dikacangin. Dan tidak mendapat respon apa apa.

Bisa dibayangin Zora bercerita tentang kesehatannya yang terganggu tetapi dianggap sepele dengan ibunya. Apalagi cerita tentang kesehariannya. Mungkin itu hanya sampah.

...

Tbc yaw.

Real story gue banget. Ya gtulah.

Next story vote 5 deh.

Zidane'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang