Story 8: Would you?

36 5 0
                                    

Tak lama, bel pulang pun berbunyi. Nampak kelas Zora sudah bersiap siap ingin kembali ke rumah masing masing.

Zora tampak keluar dari kelas.

"Udah noh cepet temennya ada belakangnya yang pake kacamata itu tu." ucap Reno grasak grusuk.

"Gue panggil Zora nya apa temennya?"

Reno menghela nafas. "Ya lo panggil temennya lah. Kalo Zora, lo ga bakal di kasih nopenya ama dia." balasnya.

Tanpa basa basi lagi, Zidane langsung berlari mendekat kearah Clise lalu menarik tangannya.

"Eh lepas lepas! Sokap banget si lo narik narik tangan orang aja!" kata Clise dengan tegas.

Clise langsung membelalakan m1atanya saat melihat kalau yang didepannya ini seperti pangeran yang hilang dari kerajaan. Wk.

"Santai. Gue ga ada niat jahat atau apapun kok. Gue cuma mau minta alamat sama nope temen sebangku lo itu." ucap Zidane membetulkan jambul nya.

Clise nampak berfikir. Dirinya seperti salah tingkah karena sedang berbicara dengan anak baru di sekolahnya. Tampan pula.

"Woy, ngapain bengong? Boleh ga?" Clise langsung tersadar.

"Eh...iya iya. Boleh, tapi kalo lo sampe macem macem sama Zora. Jangan harap lo bisa sekolah disini lagi!" balasnya tegas.

Zidane bergidik ngeri. Galak juga nih cewe. Pikirnya.

"Siapin kertas dan dibutuhkan ke fokusan yang bener bener karena gue ngomongnya hanya sekali ga ada pengulangan." ucap Clise lagi.

Zidane tengah sibuk mencari buku kosong lalu merobek kertas untuk mencatat nomornya. Pena sudah berada di tangan kanan.

"08810386722. Alamatnya, Jl.Sukamto II, Jakarta Timur." ucap Clise dengan cepat.

Zidane nampak kebingungan saat mencatat nomor Zora. "Eh tadi belakangnya 7 berapa? Ga jelas soalnya tadi." katanya.

"Kan gue bilang, ga ada pengulangan. Udah ya gue mau cabut. Bay!"

"Eh tunggu! Buset."

Telat.

Dari kejauhan nampak Reno berlari kencang ke arah Zidane.

"Bro, lo berhasil?" tanyanya menepuk kecil pundak Zidane.

"Berhasil. Tapi setengah." balas Zidane memasukan kembali bukunya. Ia menatap kertas yang bertuliskan alamat dan nomor Zora itu. Mengingat ingat angka berapa yang tadi disebutkan Clise.

"Ko bisa setengah? Maksud lo?"

"Kurang satu angka nomornya."

"Ko bisa kurang satu angka? Maksud lo?"

"Gue dengernya kurang jelas tadi."

"Ko bisa kurang jelas? Maksud lo?"

"Ahh.. Banyak bacot lo. Udah kemon kita pulang. Lapar nih."

Lalu mereka berdua pergi ke parkiran. Suasana disekolah sudah cukup sepi karena muridnya sudah pulang. Hanya terlihat beberapa siswa yang masih ada di koridor sekolah. Mungkin menunggu jemputannya atau hal semacam itu.

*

Sebelum pulang kerumah, Zora singgah terlebih dahulu ke toko buku di salah satu mall elite di daerah senayan. Sepert biasa, earphone nya lah yang selalu menemani setiap langkahnya.

Menurutnya musik sangat membantu mood Zora. Setiap apa yang dia lakukan, itu lah gambaran mood nya saat itu juga.

Flashback on.

Wanita berambut cokelat kemerahan itu senang betul karena mendapat kejutan yang sangat berarti dari sang kekasihnya.

"Zor, kita pacaran udah sangat lama. Ini meyakinkan bahwa kita gabisa terpisahkan oleh maut. Jikalau darah yang memisahkan kita, darah itu harus milik kita bersama. Jikalau raga yang memisahkan, maka raga itu harus hilang bersama." ucap Devano dengan mengelus rambut Zora dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Ko kamu ngomong gitu? Kita pasti bisa bersama. Cerita tentang kita masih panjang Dev." balas Zora langsung memeluk Devano.

"Aku ngerasa umur aku ga---"

Cup!

Satu ciuman berhasil mendarat di bibir Devano sebelum ia menyelesaikan omongannya. Zora sangat tau apa yang akan dikatakan oleh kekasihnya itu. Namun ia tak ingjn mendengar jikalau Devano yang bilang.

Flashback off.

Shit! Gumam Zora.

Sekelebat bayang-bayang tentang kisahnya terlintas begitu saja di pikiran maupun hatinya.

Devano memang manusia biasa sama seperti yang lain, tetapi sifat,karakter,dan jiwanya sangat lah berbeda dari yang lain. Banyak cerita darinya yang berhasil membuat Zora jatuh ke pelukannya.

Karena itulah menurut Zora, Devano tak tergantikan.

*

"Ngapain si lo mundar mandir gitu kaya orang lagi mikirin tagihan listrik aja." pekik Reno.

Zidane tinggal di apartement milik Reno. Mereka berdua sangatlah dekat dari kecil karena orang tua mereka juga bersahabat. Reno tahu betul semua tentang Zidane. Mulai dari kelebihan sampai kekurangannya, dari sifat dan karakteristiknya,dari hobby sampai kebiasaan jeleknya.

Konflik di antara mereka tidak pernah terjadi belakangan ini. Itu di karenakan sifat Reno yang lebih baik mengalah daripada harus mengadu mulut dan berujung pertengkaran dengan sahabat karibnya itu.

"Gue lagi inget inget nomor Zora. Satu angka doang. Ahhh..." balas Zidane mengusap kasar rambutnya.

Reno memutar bola matanya. Lalu menatap layar ponselnya dan kembali memainkan game CoC.

"Aaa...2! Oke gue coba!" teriak Zidane.

Jidan lo ngapa nyuk?.-.

Zidan mencoba menelpon Zora dengan ditambah angka dua belakangnya.

Tutt.. Tutt...

"Halo? Ini Zora?"

"Iya. Ini siapa ya?" balas Zora di seberang sana.

"Eh, hai Zoe. Ini gue Zidane."

"Nama gue Zora. Not a ZOE. Ko bisa tau nomor gue? Dari siapa?"

"Dari someone."

"Yaudah, ngapain nelfon gue malem malem gini? Udah malem nih. Kalo ga penting gue mau tidur dulu."

"Eh, tunggu tunggu. Gue mau ngajakin lo kesekolah bareng besok. Mau 'kan?"

"Eh gila! Gue ga kenal lo dan lo asal ngajakin gue bareng?! Salah sambung kali lo! Stress!"

"Zor! Lo kenal gu---"

Tut.

Belum selesai berbicara telfonnya sudah dimatikan.

"Hanjir. Hebat banget lo langsung ngajakin bareng gitu aja. Kenal juga belom." ujar Reno memelas.

Zidane membanting tubuhnya ke kasur. "Huh, anggap aja ini awal perjuangan gue."

...

Tbc! Vote udh 10 lanjut.

Rayya.

Zidane'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang