Chapter 10

4.7K 357 60
                                    

DILARANG KERAS COPAS! Ini murni dari pikiran saya, kalau ada kemiripan alur itu suatu hal yang wajar dan biasa terjadi di dalam dunia tulis-menulis.

SORRY FOR TYPO!

Kyuhyun memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menepuk dadanya, Kyuhyun benci menangis, tapi air mata sialan itu tidak mau berhenti mengalir. Isak tangisnya terdengar sangat pelan. Luar biasa jika seorang pria meneteskan air mata. Air mata pria selalu jujur. Seorang laki-laki tidak akan menangis jika perasaannya tidak benar-benar terluka.

Kepala Kyuhyun bertambah pening, napasnya semakin berat, perasaan marah, menyesal dan terluka kembali memenuhi dadanya. Kyuhyun membuka laci mejanya. Mencari botol berdiameter 5 centimeter, Benzodiazepin. Ia mengambil satu butir, menelan utuh tanpa bantuan air minum. Ia sudah biasa melakukan itu. Melakukan hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaannya.

***

Tengah malam, gelap, dingin, dan sunyi, waktu yang sangat mendukung untuk memutar beberapa memori. Tapi ini bukan beberapa, bahkan Hyumi mengingat semuanya. Apa yang terjadi tempo hari, semuanya terlalu jelas, dan Hyumi mengutuk itu. Ia mengutuk pertemuannya kembali dengan seorang pria masa lalu.

Alih-alih merasa lelah dan butuh memejamkan mata, Hyumi justru menghitung berapa lama sejak dirinya dan pria itu terakhir bertemu? Berapa lama sejak dirinya terakhir bertemu pria tampan bernama Cho Kyuhyun? Dan ... sial! Berapa lama sejak pria brengsek itu menorehkan luka? Tidak pernah terbesit di benak Hyumi bahwa takdir akan mempertemukannya kembali dengan Cho Kyuhyun, dan pertemuannya tempo hari itu jelas membuat lukanya semakin menganga. Memikirkannya, ia merasa tidak dapat bernapas dengan tenang. Pasokan udara seakan menipis, dadanya terasa sesak, dan semua semakin parah ketika air matanya luruh.

Oh-Cho Kyuhyun, pria tampan yang ia tunggu, sosok yang selalu Joo Hyun tanyakan, ayah dari anaknya. Mengapa baru sekarang ia bertemu dengan pria itu? Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang sebentar, dalam jangka waktu selama itu pasti terlalu banyak yang terjadi di antara mereka. Dan itu terlalu menyakitkan untuk menjadi suatu bahan perbincangan.

Getaran ponsel di atas meja membuyarkan lamunan Kim Hyumi, ia lalu meraihnya, melihat sekilas siapa yang menghubunginya tengah malam begini. Hyumi menarik napas dalam, mempersiapkan diri sebelum bibirnya menyapa orang di seberang sana.

"Ya, Tuhan!" pekikan itu memaksa Hyumi menjauhkan ponselnya dari telinga. "Oh-Hyumi, kapan kau tiba? Kenapa tidak mengabari kami jika kau akan pulang? Hyumi-ya, kami merindukanmu, nak"

Hyumi menelan ludahnya dengan susah payah. "A-beoji," ia merasa bersalah kali ini. "Maaf, abeoji. Aku tidak sempat menghubungi kalian. Aku benar-benar menyesal."

"Kami harap kau berkunjung kemari secepatnya. Kami sangat merindukanmu, nak."

"Aku juga merindukan kalian, tapi maaf sepertinya dalam waktu dekat ini aku belum bisa berkunjung."

"Kenapa? Kami sangat merindukanmu dan sangat ingin bertemu denganmu. Hyumi-ya, sepuluh tahun bukan lah waktu sebentar, dan selama itu juga kau tidak pernah kembali ke Korea."

Hyumi tahu kali ini ia egois. Tapi hanya dengan cara itulah ia dapat hidup dengan baik. Ia tidak ingin membahas itu lagi, lebih tepatnya ia tidak ingin menyesali sesuatu yang telah menjadi takdir Tuhan.

"Maaf," Hyumi tidak yakin suaranya akan baik-baik saja jika ia berbicara lebih panjang. Hanya mengucapkan satu kata saja dadanya yang tadi sesak kini terasa sangat menyakitkan.

"Kau tidak merindukan Joo Hyun?"

Tolong, berhenti mengatakan itu! Hyumi meredam isak tangisnya dengan telapak tangan, bahunya bergetar.

CULACCINO & DER BAHNHOF (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang