1. Acha Penguntit

402 85 42
                                    

          "Apa?! Acha mau sekolah di SMA aku?" wajah kaget yang ditunjukkan laki-laki berwajah tirus yang bernama Dennis tidaklah memperlihatkan kesenangan. Namun sebaliknya. "Nggak, nggak boleh terjadi," gumam Dennis lirih, tak ingin ayahnya mendengar. Dirinya bagaikan sedang disidang oleh ayahnya sendiri.

             Duduk dihadapan ayahnya dalam satu ruangan dan membicarakan hal yang serius, cukup membuat dennis tegang. Dirinya seperti sedang disidang oleh ayahnya sendiri. Padahal, ayahnya adalah seorang pengacara, yang seharusnya membantu terdakwa.

           "Memangnya kenapa, Dennis?" tanya ayahnya kebingungan. Karena selama ini, ia tak pernah menolak keputusan ayahnya, apalagi yang berhubungan dengan Acha. Yang ayahnya tahu adalah, mereka sudah saling mengerti sejak 10 tahun yang lalu. Sejak mereka masih kecil. Tetapi, kali ini kasusnya berbeda. Ia tak bisa menceritakannya, karena menceritakannya sama saja membuka rahasia dirinya.

            Dennis memutar otak mencari-cari alasan agar Acha tak satu sekolah lagi dengannya, "emm ... SMA itu terlalu jauh untuk Acha."

           'Sial' Dennis meruttuki dirinya sendiri karena mengucapkan alasan yang ambigu.

            "Kan brangkatnya sama kamu, Dennis. Kalian kan tetanggaan.

             "Tapi, yah. Acha kan..."

            "Sudah, tidak ada tapi-tapian," ucap ayahnya memotong ucapan Dennis.

             "Baiklah..." jawab Dennis dengan lemasnya. Setelah itu, dia berjalan keluar ruangan ayahnya dan betapa terkejutnya ia melihat Acha yang sedang menguping pembicaraan Dennis dengan ayahnya. Sedangkan Acha hanya tersenyum penuh kemenangan.

        'Huh, dasar penguntit,' ucap Dennis dalam hati.

              "Aku menang! Jangan lupa, Bakso Kang Maman," Acha menaik turunkan alisnya. "Dan..." Acha tak melanjutkan kalimatnya dan memandang Dennis penuh arti.

              "Dan...?" tanya Dennis dengan menatap lekat wajah Acha.

               Pletakk

               Jitakkan keras melayang di jidat mulus Dennis. Acha        menjulurkan lidah mengejek Dennis, lalu berlari menuju keluar rumah. Itulah yang selalu mereka lakukan. Hari ini bartengkar, besok baikkan. Hari ini baikkan, besok bartengkar kembali. Dan begitu seterusnya.

Bukankah begitu lebih baik?

               Dennis berlari mengejar Acha ke luar rumahnya. Mereka berkejar-kejaran di sekitar rumah mereka. Setelah lama, akhirnya Acha menyerah. Mereka terbaring bersama di taman belakang menghadap langit biru.

               "Aku rasa, taman rumah kita semakin mengecil, yah?" tanya Acha pada Dennis. Napasnya masih belum teratur setelah berlarian tadi.

              "Taman rumah kita masih utuh. Kita yang tumbuh semakin besar, bodoh" cibir Dennis pada Acha dan sukses membuat Acha mendengus kesal.

              "Kamu masih ingat, Dennis? Saat pertama kali kita bertemu," ucap Acha menerawang seperti sedang melihat kembali masa lalunya.

              "Tentu saja aku ingat. Saat-saat dimana kau bertemu pangeran kecil yang tampan, bukan?" ucap Dennis dengan gaya narsisnya.

                "Cih, apa kau tak bisa menghilangkan kadar ke narsisan mu sedikiiit saja?" Acha mencibir.

                Menurut pandangan Dennis, Acha berbeda dari perempuan lain. Terkadang dia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menaklukkan Acha, perempuan tangguh yang dikenalnya 10 tahun lalu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Hai, guys! ini cerita pertamaku. Harap maklum ya, jika bahasa belum baku, tanda baca, dan sebagainya.
Kepp vommet, ya..
Maaf kalo nggak mudeng ceritanya
Salam hangat hanis_fa  😊
       

My Past Is Your PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang