6. Jadi itu, alasannya?

176 55 18
                                    

"Dennis??" Acha masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat. Tapi memang itu kenyataannya. Dennis lah yang sekarang sedang berpidato di depan lebih dari 200 orang ini.

Acha yang sedari tadi menahan amarah, kini amarahnya tak bisa di tambal-tambal lagi. Sudah terlanjur bocor.

"DENNIIIS!!!" Acha berteriak dengan kerasnya. Membuat semua pasang mata melihat dirinya. Yang berbaris di bagian depan, menengok ke arah Acha semua. Seperti nya Acha sudah tidak menghiraukan hal itu.

Dennis sebenarnya tidak terkejut akan hal itu, karena dia sudah tau hal itu akan terjadi, dalam arti lain dia sudah mempersiapkannya. Yang membuat Dennis agak terlonjak adalah, teriakannya yang membahana, bahkan mengalahkan suaranya yang menggunakan mike.

Dennis segera turun dari mimbar dan pergi menuju tempat Acha berada. Sekarang mereka beradu pandang. Tapi bukan seperti pada cerita-cerita romantis. Pandangan mereka adalah pandangan yang mematikan. Sebenarnya, mungkin Acha sedikit beruntung karena semua guru tidak di lapaangan utama.

Dennis menarik lengan Acha dan menyeretnya menuju belakang ke bagian lapangan basket yang hanya tersekat tembok dari lapangan utama.

Masih bisa terdengar oleh Acha suara-suara gaduh yang mengganggu di telinganya. Sedangkan dari anak-anak perempuan, mereka menatapnya sinis sekaligus iri, mungkin karena Lengan idola mereka menggenggam tangan Acha. Mata mereka seakan mengatakan 'dasar caper'.

"Cicuitt... "

"Fiuit..."

"Piuwwit"

"Ngiengg...ngiing..."

Yang terakhir bukanlah suara dari anak-anak. Melainkan suara microphone yang diambil alih oleh ketua OSIS SMA ini.

"Pimpinan saya ambil alih, semuanya siap gerak," suaranya garang. Membuat semua murid yang sibuk bersiul mendadak menghentikan suaranya.

***

Di tempat Acha sekarang, Dennis menatapnya dengan garang pula.

"Kamu sadar nggak sih, yang kamu lakukan tadi?"

"Sadar"

"Lalu kenapa kamu melakukannya?"

"Dennis, kamu udah bikin aku marah dua kali. Pertama ini nih, name tag menyebalkan ini membuat aku malu. Kedua, kamu bicara di depan tadi itu ngapain? Jadi wakil ketua OSIS? Kenapa nggak bilang? Kenapa nggak cerita?" tanya Acha bertubi-tubi karena dari dulu Dennis tidak pernah menyembunyikan sesuatu darinya.

"Ya, aku memang wakil ketua OSIS disini, dan sebentar lagi masa jabatanku akan berakhir. Jadi, mohon kerjasamanya."

"Tunggu... Tungguu," "jangan bilang kalo kamu nggak mau aku masuk ke sini karena ini"

"Ya, begitulah," ucap Dennis dengan entengnya.

'Huft... Bagaimana dia mengatakannya semudah itu? Ini.. Ini seperti bentuk penghianatan. Aku tidak pernah menyembunyikan apapun darinya!'

"Aku tidak akan memaafkanmu," ucap Acha marah dan pergi meninggalkan Dennis menuju lapangan utama kembali.

"Kita lihat saja, nanti," ucap Dennis sembari menatap punggung Acha yang hilang diantara tembok pembatas.

***

Semua sudah memasuki kelas masing-masing setelah upacara yang melelahkan tadi. Belum juga lima menit mereka mengistirahatkan diri, tiba-tiba rombongan OSIS datang. Dan sialnya lagi adalah, Dennis bertugas di kelas Acha.

Sejak memasuki kelas, Dennis sama sekali tidak melirikkan matanya pada Acha. Matanya malah tertuju pada sesuatu disampingnya. Luna. Ya, luna lah yang Dennis pandangi.
Baru pertama kalinya Acha melihat Dennis memandang perempuan seperti itu. Seperti pandangan, mengagumi? Atau pandangn, suka?

'Oh, no! Big no!' batin Acha berteriak.

Sementara itu, Acha tidak sadar bahwa sedari tadi ada yang memandanginya. Orang itu tepat di samping Dennis.

~~~~~~~~~~~~~~
Aku tau, aku tau cerita ini emang gaje.
Tapi biarin lah.

My Past Is Your PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang