9. Helm Pink

114 33 27
                                    

Sudah satu bulan lebih setelah mos dilaksanakan. Acha sudah terbiasa akan bunyi klakson motor setiap paginya. Akan dengan senang hati dia keluar dari rumahnya. Tetapi, hari ini dia belum mendengar bunyi itu, padahal seharusnya sudah berbunyi tiga menit yang lalu. Acha tidak peduli, ia lebih memilih menonton tv sembari menunggu.

Tetapi, tiba-tiba terdengar deru mesin motor yang semakin keras lalu terdengar menjauh. Tidak salah lagi, itu suara motor Dennis. Dengan beringsut Acha segera berlari keluar rumah dan mendapati Dennis keluar dari pagar dan meninggalkan Acha.

'Apa-apaan ini?! Dia melanggar janjinya!'

Acha berlari melewati pagar dan untungnya Dennis belum jauh. Tiba-tiba Acha berhenti berlari saat di tengah jalan, ia mencopot sepatu kirinya dan mengambil ancang-ancang.

"Yes! Kena!" lemparan keras Acha tepat mendarat di punggung Dennis. Membuat ada sedikit noda di seragamnya. Tetapi, bukan itu masalahnya, masalahnya adalah rasa sakit. Lemparan Acha begitu kencang dan keras membuat Dennis terpaksa memberhentikan motornya.

Acha yang berhasil, kemudian berlari menuju motor Dennis dengan bertumpu pada kaki kanan. Tak lupa ia mengambil sepatunya yang berada di bawah motor serta memakainya. Acha segera menaiki motor dan menepuk pundak Dennis layaknya tukang ojek.

"Brangkat, bang."

Saat di perempatan, mereka berhenti karena lampu mereh menyala. Acha tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sedari tadi ingin ia tanya kepada Dennis. Tetapi, ia tahan karena masih di perjalanan, ia tak berani bertanya, takut mengganggu konsentrasi Dennis saat mengemudi.

"Apa itu tadi? Mau mencoba meninggalkanku, huh?" tanya Acha mencibir.

"Hmmm," hanya itu yang Dennis jawab.

"Kanapa kau tidak mau menungguku? Apa kau mau menemui seseorang?" tanya Acha. Padahal Acha hanya bertanya asal saja, tetapai Dennis menjawab 'iya'. Membuat Acha kaget. Kaget bahwa Dennis meninggalkannya untuk seseorang. Bahwa ada yang lebih penting dari dirinya.

"Siapa?!" tanya Acha ragu.

"Luna."

DUAR!

Dengan entengnya nama itu keluar dari bibir Dennis. Padahal Acha yang mendengarnya bagaikan tersambar petir. Singkat, padat, jelas. Terlalu jelas bahkan. Hingga Acha berharap ia tidak pernah mendengarnya saja.

'Jadi, hanya untuk Luna kau meninggalkanku?'

Acha yang semula cerewet, kini diam. Ada yang berontak dalam dirinya


***


Tak terasa, ternyata mereka sudah berada di parkiran sekolah. Acha langsung turun dari motor dan enggan mengatakan apa-apa. Mungkin jika dirinya diizinkan untuk membawa motor sendiri, ia akan lebih memilih pilihan itu. Daripada menumpang pada Dennis. Rasanya enggan tetapi butuh.

Tetapi, pasti semua tidak akan menyetujuinya. Ia masih belum cukup umur, itu artinya dia belum memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Menaiki motor itu bukan hanya sekedar bisa menaikinya saja, tetapi harus ada tanggung jawab dari dirinya. Apabila ada sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi, ia sudah bisa bertanggung jawab. Ya, kan? Lagipula, sekolahannya jauh.

"Acha," sepertinya Dennis memanggilnya. Tetapi Acha tidak menggubrisnya. Dia berfikir, mungkin Dennis hanya akan menceramahi dirinya yang telah berani melemparnya dengan sepatu.

"Acha..." Dennis memanggilnya kembali. Tetapi Acha tetap tidak menengok. Dirinya tetap berjalan menuju kelasnya yang berada di lantai dua.

Tetapi ada yang aneh, semua yang berpapasan dan kebetulan melihat Acha, mereka menatap Acha dengan tatapan yang aneh. Bahkan beberapa dari mereka seperti menahan tawanya.

'Apaan sih? Emangnya ada yang aneh dariku?'

Acha mengacuhkan itu dan tetap berjalan menaikki tangga. Sesampainya di kelas, Luna langsung mencegat Acha.

"Eh, ada apa sih? Kenapa orang-orang ngeliatin aku terus?" tanya Acha kebingungan di depan pintu kelas.

"Achaaa... Kamu nyadar nggak, sih?"

"Nyadar? Nyadar apaan?" tanya Acha masih dengan kebingungan.

"Itu... Helm," Luna menunjuk bagian atas kepala Acha. Mendengar hal itu, Acha reflek memegang bagian kepalanya.

"Astaghfirullah..." Acha langsung berlari keluar menuruni tangga dan melewati tengah lapangan.

'Pantas saja semua melihatku. Kenapa harus gini, sih? Pink pula.'

Acha terengah-engah setelah berlari dari kelasnya hingga ke parkiran motor. Bodohnya setelah dia tahu, dia tidak segera melepaskan helm itu. Malah menutupinya dengan tangan.

Dari kejauhan, ia dapat melihatnya.
Ya, dia masih berada disana. Dengan tangan yang disilangkan di depan dada. Dengan wajah datarnya.

'Ck, dia berbeda sekali dengan di rumah," batin Acha.

"Makannya, kalo dipanggil itu nyaut, paling enggak nengok," ucap Dennis datar, tetapi ada nada mengejek dalam kata-katanya. Setelah itu dia melenggang pergi meninggalkan Acha.

~~~~~~~~~~~~~~~~
Maaf ya semakin gaje cerita ini.
Tapi, biarin lah.
Makasih yang sudah mau baca, walaupun kalimatnya banyak yang tidak efektif dan membingungkan.

30 Mei 2016

My Past Is Your PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang