MBB8

172 16 13
                                    


Entah berapa kali Rangga menarik nafasnya dalam sembari melirik Rahma yang duduk di seberangnya, tengah membaca buku materi pelajaran. Kebisuaan Rahma sungguh menganggunya. Ia berpikir bahwa lebih baik jika ia mendengar ocehan perempuan itu daripada dirinya diabaikan seperti ini. Rasanya sungguh tak nyaman. Dan tentu ini pertama kali untuknya diabaikan oleh seorang mahluk yang bernama perempuan. Ia sungguh tak menyukai situasi seperti ini.

"Sekali lagi gue nanya, lo mau makan apa biar gue beliin?", Rangga mencoba membuka pembicaraan lagi.

"...."

"Ayolah Ma, jangan ngambek mulu napa! Lo mau makan apa? Tinggal sebut apa aja, gue yang traktir"

"...."

"Jarang-jarang lo gue mau neraktir cewek. Seharusnya lo merasa beruntung"

"...."

Rangga mendesah gusar. Rahma sungguh mengabaikannya, membutakan penglihatannya dan menulikan pendengarannya—seolah Rangga tak ada di depannya dan tak berbicara padanya. Rahma terus membaca bukunya dengan datar, tanpa merasa terusik sedikitpun.

"Lo bisa gak sih gak kaya anak kecil gini? Sadar umur dong! Lo tuh udah tua. Seorang guru sekaligus wali kelas. Seharusnya lo tuh memberi contoh yang baik! Bisa bersikap dewasa, gak kaya anak kecil yang ngambekan mulu!"

"...."

Rangga menatap Rahma tak percaya. Perempuan itu sama sekali tak terganggu dengan ocehannya. Di situasi normal, ia yakin tentu Rahma akan tersulut emosinya dengan kritikan Rangga yang cukup pedas itu. Tapi nyatanya, Rahma terus membaca bukunya dengan anteng. Seolah Rangga adalah mahluk tak kasat mata, yang tak terlihat dan tak dapat didengar.

Rangga menyerah. Rahma sungguh perempuan yang keras kepala. Ia tak akan membujuk perempuan itu lagi—tidak akan.

"Ok kalo lo gak mau makan. Gue bakal beli makan sendiri. Jangan salahkan gue kalo lo kelaparan, maag atau apapun. Gue gak akan peduli lagi!"

Setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera beranjak ke luar rumah sakit—mencari makan malam tentunya. Ia tak peduli dan berusaha tak kan pedulikan perempuan itu lagi. Terserah kalau perempuan itu kelaparan, sakit atau apa—Ia tak akan peduli lagi. Syukur-syukur ia masih mau bersimpati tadi. Jadi sudah cukup baginya. Selebihnya ia tak kan peduli lagi.

Sepeninggal Rangga, Rahma menghembuskan nafasnya kesal. Sekuat tenaga dirinya berusaha mengabaikan kalimat demi kalimat yang dirapalkan pemuda itu—berusaha tidak tersulut emosi. Bukannya ia dendam atau tidak mau memaafkan Rangga, jauh dilubuk hatinya ia telah memaafkan pemuda itu. Ia juga merasa bersalah. Namun ia hanya menunaikan janjinya pada Rangga, yakni tidak akan berbicara apapun lagi pada pemuda itu. Jadi, apa ia salah?

****


~ My Beautiful Boy! ~


"Ini buat lo! Terserah kalo mau di makan atau di buang!"

Rahma mendongkakkan wajah—menatap Rangga datar yang tengah meletakkan sebuah bungkusan yang isinya sekotak makanan dan sebotol air mineral. Hanya sebentar—ia kemudian beralih pada bukunya kembali. Sepertinya buku itu lebih menarik dari pada makanan yang teronggok di sampingnya.

Rangga menggedikkan bahunya. Ia berbalik menuju tempat duduknya kembali—tak peduli perempuan di seberangnya itu akan memakan makanan yang ia belikan atau tidak.

Aroma lezat yang menguar pada kotak makanan di sampingnya, cukup membuat Rahma terusik. Ditambah ketika Rangga mulai membuka kotak makannya. Aroma itu sungguh menggoda. Bunyi kriuk-kriuk dari kunyahan pemuda di seberangnya itu seolah turut memanggil-manggil dirinya—memintanya tuk segera menyicipi. Namun ego yang besar memaksanya untuk bertahan—ia tidak boleh menyerah.

My Beautiful Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang