MBB9

173 19 13
                                    

nggak pede post part ini -_-


Rangga bergegas menaiki undakan anak tangga menuju kamarnya di lantai atas untuk mengambil kunci mobil. Hari ini ia berniat untuk menjemput Diandra di sekolah. Yah sejujurnya ia juga ingin bertemu dengan wali kelas Diandra—tentu saja. Sudah seminggu lebih ia tidak bertemu gadis itu, entah mengapa ia ingin melihatnya sekarang. Dan hari ini hari minggu, ia tentu tidak sibuk. Diandra ke sekolah karena ada latihan untuk pentas seni di sekolahnya. Jadi bukankah ini merupakan kesempatan yang tak patut untuk dilewatkan?

Merindukan Rahma?—tentu tidak. Rangga menolak mentah-mentah alasan itu. Ia hanya ingin melihat Rahma itu—saja—bukan rindu. Yah mungkin ia sedikit tertarik pada Rahma. Alfaero benar, Rahma menyenangkan—menyenangkan untuk di godai—baginya. Jadi ia ingin sekali melihat wajah memberengut gadis itu lagi. Terlihat sangat menggemaskan. Bahkan memikirkannya saja membuat Rangga terkekeh sendiri.

Teriakan dan geraman yang bersahutan dari kamar bawah, membuat senyum yang terukir di bibirnya kembali memudar. Selalu seperti itu ketika dua mahluk itu berada di rumah. Rangga bahkan bosan mendengarkannya selama belasan tahun ini. Apa ia peduli?—tentu tidak. Bahkan jika penghuni kamar tersebut saling bunuh pun ia sudah tak peduli lagi.

Rangga segera bergegas mengambil kunci mobil di kamarnya. Gendang telinganya sudah terasa pekak. Ia tidak mau memiliki penyakit THT di masa yang masih muda. Ia tidak mengerti mengapa sepasang paruh baya itu masih memiliki energi yang begitu besar untuk membuat kegaduhan seperti itu setiap kali mereka bersama? Tidakkah itu merupakan rutinitas yang membosankan? Dirinya saja sudah sangat bosan mendengarnya—jengah lebih tepatnya.

Dan hal itulah yang menyebabkan dirinya lebih senang membawa Diandra mengungsi ke rumah Dika. Ia memang sudah tidak perduli lagi dengan apa yang terjadi di rumahnya. Namun tidak dengan adiknya itu. Adiknya masih kecil dan tentu membutuhkan banyak kasih sayang dari dua orang yang berstatus orangtuanya itu. Dan melihat kedua orang itu bertengkar, tentu akan menggangu psikis adiknya.

Jika ia boleh memilih, ia mungkin akan lebih memilih perceraian dua orang itu. Rangga bukan anak yang melankolis—memohon-mohon agar ayah ibunya dapat berdamai—itu bukan dirinya. Ia berpikir lebih rasional. Bukankah lebih baik berpisah dari pada terus saling mengumpat satu sama lain? Tidakkah mereka jengah dengan semua itu? Tentu perceraian lebih baik. Rumahnya akan lebih tenang dan damai. Dan tenang saja, Ia tentu dapat mengurus Diandra sendiri.

Rangga segera beranjak dari sana setelah menemukan kunci mobilnya. Segera meninggalkan kegaduhan di kamar orangtuanya yang tak pernah ia pedulikan lagi. Lebih tepatnya, buat apa ia pedulikan?

****


~ My Beautiful Boy! ~


Kedua sudut bibir Rangga terangkat ketika mendapati Diandra tengah bercanda dengan ibu gurunya di depan gerbang sekolah. Bukankah mereka berdua nampak manis? Seketika perasaan gusar yang sempat melingkupinya, kini menguap begitu saja.

Rangga senang—tentu saja senang. Bagaimana tidak? Ada seorang guru yang sangat menyayangi adiknya. Setidaknya, asa kasih sayang yang ingin Diandra raih dari orangtua dapat ia peroleh dari gurunya. Pantas saja adiknya itu lebih ceria setelah naik kelas, ternyata itu penyebabnya.

"Eh kakak!" Diandra menyambut riang kehadiran Rangga yang kini telah berdiri di hadapannya.

"Bagaimana latihannya tadi?", Rangga mengelus puncak kepala adiknya dengan penuh sayang. Sudut matanya sedikit mengintip pergerakan perempuan di samping Diandra. Rahma tersenyum—manis. Eh, manis?

My Beautiful Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang