MBB10

172 13 17
                                    


"Bagaimana bisa lo berpikir kalo dua puluh tiga orang adik yang dimaksud mbak Rahma itu adik-adik kandungnya sendiri?"

Rangga memberengut menanggapi pertanyaan Alfaero yang selalu berputar-putar pada topik yang sama. Belum puaskan dirinya ditertawakan?

Masih terekam jelas di benaknya ketika pertama kali ia begitu terkejut mengetahui jika adik-adik yang Rahma maksud adalah adik-adik angkatnya di panti asuhan. Saat itu Rahma dan Diandra sangat puas mentertawakannya. Dan ia sangat kesal pada Diandra yang tidak menjelaskan kenyataan itu sebelumnya.

Belum lagi ketika ia mengira Rahma juga salah satu dari anak panti itu. Rangga mengutarakan rasa simpatiknya yang salah tempat ternyata, yang ditanggapi oleh cengiran tertahan Rahma. Ia tahu bahwa perempuan itu sudah ingin tergelak. Tapi demi menghormati Rangga, Rahma hanya menjelaskan tentang dirinya dengan sedikit kaku.

Rangga sungguh merutuki kebodohannya kala itu. Namun ia sungguh tidak tahu bahwa Rahma tinggal di panti asuhan dan anak dari pemilik panti asuhan tersebut. Salahkah jika ia tidak tahu?

Salahkan Diandra yang tidak menceritakan semua itu padanya. Seharusnya adiknya itu telah menjelaskan lebih dahulu apa yang diketahui Diandra tentang gurunya itu—tidak membiarkan dirinya menarik kesimpulan seperti itu dan membuat dirinya terlihat begitu bodoh.

Dan sebenarnya ia cukup sedih karena angan yang baru tercipta tentang memiliki anak dua lusin jadi kandas di pinggir jalan?

"Kok diem aja, Ga? Lagi sariawan ya?"

Rangga mendelik sebal ke arah sahabatnya itu. Sepertinya itu mulut tak akan berhenti untuk bekerja sebelum ia menanggapi ocehannya.

"Lagi sakit kuping dengerin bacot lo yang muter-muter mulu!", ujarnya sebal.

"Idih sadis! Lagi PMS ya lo marah-marah gini ke gue?"

Rangga memutar bola matanya jengah, "Hayati lelah bang! Kita kayanya udah gak cocok lagi. Mendingan kita putus tus tus aja dah! Jauh-jauh sekarang dari gue! Hussshhhh saaanaaa..", kalimat terakhirnya terdengar jelas meniru penyanyi wanita yang selalu booming dengan jargon-jargon barunya.

"Beb, jangan gitu! Gue kan masih cinta sama lo! Hidup tanpa lo itu kaya rambut tak berketombe. Hampa banget. Gak ada yang bisa digarukin lagi", Alfaero berujar dengan penuh mendramatisir, membuat Rangga bergidik ngeri.

"Na—"

"Ka..ka..li..an.."

Dua mahluk itu sontak menoleh pada sosok perempuan yang tengah menatap mereka dengan wajah yang pucat pasi. Detik itu juga, Alfaero dan Rangga mengerti jika Rahma telah menarik kesimpulan yang salah.

"Eh. Mbak Rahma.. jangan salah paham.. kami—"

"Mbak nggak nyangka Al.. Mbak pikir kamu dengan Cinta.. Emm pantas, mbak fine-fine aja dengan kamu, ternyata—", sahut Rahma cepat sebelum Alfaero menjelaskannya lebih lanjut. Jelas sekali sorot mata Rahma menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Ia tidak percaya, namun nalar salahnya lebih mendominasi.

"Hadeh. Lo itu ya, Ma! Selalu aja mikir yang aneh-aneh tentang gue. Bisa gitu gue suka sama sesama? Gak enak kali, jeruk makan jeruk!".

Rangga tidak habis pikir dengan isi otak perempuan di depannya itu. Perempuan itu pintar—tidak dapat dipungkiri dengan bagaimana yang ia ketahui tentang profesi Rahma sebagai guru teladan. Tapi di satu sisi, perempuan itu juga nampak terlihat bodoh dengan berbagai delusi aneh yang ia ciptakan.

"Gimana gak bisa mikir aneh kalo tampang dan kelakuan lo yang selalu bikin gue narik kesimpulan seperti itu? Ya kalo lo sih gue bisa maklumin, dari awal ketemu juga gue udah menduga kaya gitu. Cuman kalo Alfaero sih gue masi gak bisa percaya."

My Beautiful Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang