mbb12

200 17 16
                                    

Sebenarnya pengen unpublish cerita ini. tp ya udh deh gak jd. demi sepuluh orang yang setia vote cerita ini dan 2-3 org yg suka nyariin. ya udh ku lanjutin aja


"cieee.. yang senyum-senyum liatin hape"

Rahma memutar bola matanya malas. Ia tidak lagi terkejut dengan suara yang tiba-tiba ditangkap oleh indera pendengarnya itu. Sudah biasa. Ia tahu makhluk itu akan menganggunya di jam seperti ini—akhir-akhir ini sering. Walau ia bacakan ayat kursi atau surah yasin sekalipun, makhluk itu tidak akan pergi. Jadi lebih baik abaikan saja.

"Smsan sama siapa sie? Serius amat?", Rangga menjulurkan kepalanya—mencoba mengintip apa yang tertera dilayar ponsel Rahma, namun si empunya dengan sigap menutupi.

"Kepo banget!", Rahma akhirnya mendelik sebal pada si penganggu.

"Kepo lah. Biasa kan lo ngeliatain ke sana mulu", Rangga menunjuk sekolah seberang dengan dagunya. "Eh sekarang malah ngeliatin hape terus. Udah move on ya sama mas-mas pake motor bebek?"

"..."

"Beh, gue dikacangin mulu. Nggak tau apa kalau kacang mahal. Smsin siapa sih? Gebetan baru ya?"

Ini makhluk kalau tidak ditanggapi pasti akan selalu mengoceh—tanpa lelah—tanpa henti—luar binasa. Jadi dengan sangat terpaksa dan berat hati, akhirnya Rahma mengalah. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dan berbalik menghadap Rangga, "Kalau iya kenapa? Terus kalau nggak juga kenapa? Masalah buat lo?"

Rangga bungkam sejenak—memutar otak untuk memberi penyanggahan yang tepat. Sejujurnya, hal itu memang menjadi masalah buat Rangga jika yang sedang berbalas pesan dengan Rahma adalah manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Tapi tentu ia tidak mungkin kan mengungkapkan yang sebenarnya? Apa reaksi Rahma jika ia nekad untuk mengungkapkannya? Bisa-bisa gadis itu dengan siaga menghindarinya, tanpa sempat Rangga mengutarakan perasaannya. Tentu Rangga tidak mau itu terjadi.

Rangga tidak tahu saja jika yang sedang berbalas pesan dengan wanita pujaan hatinya itu hanyalah makhluk sejenis dengan Rahma—sama-sama perempuan—sahabat Rahma. Kekhawatiran Rangga memang tidak tepat pada tempatnya. Seharusnya ia mencemaskan masalah yang lain—bukan itu.

"Masalah... karena lo lagi cuekin cowok ganteng", Rangga menjawab asal. Akhirnya hanya kalimat itu yang terbesit dibenak Rangga—sebagai penyanggahan tidak tersirat. Semoga Rahma tidak curiga—Aamiin.

"Huek...", Ini makhluk kadar kenormalannya memang di bawah rata-rata. Mesti banyak-banyak menyiapkan kantong plastik jika harus berdekatan dengannya. Bayangkan saja! Siapapun juga akan seperti dirinya jika berhadapan dengan lelaki yang tingkat kenarsisannya tinggi—walau memang tampan sekalipun.

"Ya elah. Orang rabun aja tau kalo gue ganteng. Masa lo gak mau ngakuin kalo cowok di sebelah lo ini ganteng?"

"Siapa?"

"Gue lah."

"Yang Nanya?", sahut Rahma dengan datar. Sedangkan si empunya malu sekali. Ingin sekali ia menceburkan diri ke laut Gangga. Menenggelamkan wajah agar tidak ketahuan seberapa malu dirinya saat ini.

Eh, tapi—ralat deh! Tidak Jadi! Rangga masih sayang nyawanya. Belum kawin juga. Mana tahu nanti di sungai Gangga ketemu dengan almarhumah mbak Iccha. Bisa mati jantungan. Walau cantik, tetap saja sudah almarhumah—seram.

Tiba-tiba saja Rahma menunduk—wajahnya sepertinya—merona? Ditambah dengan garis bibir yang nampak menahan senyum—sepertinya.

Sontak Rangga menyerngit. Kenapa tiba-tiba?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Beautiful Boy!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang