Sinar mentari pagi menyambut salah satu kota tersibuk di dunia, New York. Siraman cahaya itu seakan menandakan kehidupan yang panjang dan melelahkan harus kembali di mulai. Suara cicitan burung terdengar riuh, saling bersahutan. Mereka memberi semangat pada semua anak Adam yang akan memulai aktivitasnya.
Justin Orion mengerjapkan matanya ketika siraman cahaya itu memasuki ventilasi jendelanya. Tirai yang masih tertutup pertanda bahwa sang pemilik kamar baru saja bangun. Justin memalingkan pandangannya ke jam dinding yang terletak sejajar dengan posisinya saat ini. Pukul enam lewat tiga puluh pagi.
"Masih pagi ternyata," batin Justin. Lelaki itu mengucek matanya lalu merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku. Lelaki itu bergegas menuju kamar mandi. Ia perlu membersihkan diri segera.
Bagi Justin, tinggal sendiri di apartemen seperti saat ini menyenangkan. Ia bisa melakukan segalanya sesuai kehendak hati. Tidak akan ada yang melarangnya melakukan apapun. Ia bebas.
Ponsel Justin berdering saat lelaki itu baru saja keluar dari kamar mandi. Benaknya menebak-nebak, siapa yang meneleponnya sepagi ini. Biasanya, hanya Sophia yang melakukan hal itu. Tetapi dengan melihat hubungannya dengan Sophia saat ini, sepertinya gadis itu tidak akan melakukannya lagi. Gadis itu tidak akan mau menghubungi lelaki yang sudah membuatnya malu di hadapan kedua orang tua mereka.
"Sophia?" batin Justin saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Tebakan mengenai Sophia yang tidak akan mau lagi menghubungi Justin ternyata salah. Gadis itu masih mau menghubungi Justin. Pagi ini buktinya.
"Hallo," angkat Justin ragu. Batinnya bergojalak antara yang dilakukannya ini salah atau benar.
"Justin!" seru Sophia ceria seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya di antara mereka. Seperti semua yang di alami malam itu adalah sebuah mimpi. "Kau sudah bangun? Kau berangkat ke kampus hari ini kan? Aku pergi denganmu, ya,"
Kening Justin otomatis berkerut heran. Berhari-hari gadis itu menghilang begitu saja seakan di telan bumi. Kini, gadis itu kembali datang dengan sikap yang sama sekali tidak berubah. Apa ia masih mau merasakan sakit yang sama sekali lagi?
"Aku tidak bisa," jawab Justin singkat. Justin yakin dengan apa yang dilakukannya. Ia tidak akan membiarkan Sophia masuk ke dalam harinya lagi. Ia sudah cukup kasihan pada Sophia yang sudah ditolaknya berkali-kali itu, walaupun Sophia tidak pernah menyerah untuk mendapatkannya.
"Kau tidak bisa menolakku lagi. Aku sudah berada di depan pintu apartemenmu," kekeh Sophia di seberang sana. Mata Justin membulat sempurna ketika mendengar itu. Bagaimana bisa Sopia mengetahui apartementnya jika ia sendiri tidak pernah memberi tahu Sophia?
"Jangan terkejut begitu. Aku bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentangmu. Kau harus ingat, aku adalah Sophia Tyler. Aku mendapatkan semua yang aku inginkan." Sophia yang seperti tahu apa yang dipikirkan Justin, menjawab dengan ringan tanpa beban. Apalagi saat ia mengatakan aku mendapatkan semua yang aku inginkan.
"A-aku harus menjemput Ariana," kilah Justin cepat. Lagi-lagi terdengar kekehan Sophia di seberang sana. Gadis itu berubah menjadi penuh misteri setelah menghilang tiba-tiba.
"Ariana pergi ke kampus bersama ayahnya. Kau mau membukakan pintu untukku atau tidak, hm? Jika tidak, it's okay. Aku punya kunci cadangannya."
"Baiklah. Kau tunggu saja di luar. Aku akan keluar, sebentar lagi." Justin memutuskan sambungan teleponnya. Justin menghembuskan nafasnya kasar. Bagaimana bisa gadis itu berubah menjadi lebih mengerikan dan membahayakan? Seharusnya kejadian malam itu menjadi sebuah tamparan pagi Sophia. Harusnya gadis itu sadar, bukannya malah makin bersemangat mengejar Justin.
Justin memakai pakaiannya terburu-buru. Ia bahkan tidak sarapan. Tidak ada waktu untuk melakukan hal itu. Lebih baik ia tidak sarapan daripada membiarkan Sophia masuk ke dalam apartemennya.
"Akhirnya kau keluar juga." Cengiran Sophia menyambut Justin ketika Justin baru saja keluar. Lelaki itu bergegas mengunci pinu apartemennya tanpa mengubris Sophia.
"Kenapa kau datang lagi?" tanya Justin tajam. Sophia hanya tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepalanya.
"Justin, Justin. Kau masih sama ternyata," kata Sophia tanpa menjawab pertanyaan Justin.
"Kenapa kau datang lagi?"
"Aku merindukanmu, jadi apa salahnya aku menemuimu. Ada masalah dengan hal itu?" tanya Sophia tersenyum. Justin menghela napasnya kasar. Percuma saja jika ia berbicara pada gadis keras kepala seperti Sophia.
"Terserah kau sajalah," ketus Justin. Ia melongos pergi tanpa memedulikan Sophia. Justin dapat merasakan Sophia tersenyum di balik punggungnya.
"Aku pergi denganmu." Sophia menggandeng tangan Justin dari belakang. Justin berusaha melepaskan hal itu, tetapi gandengan Sophia cukup kuat. Justin tidak bisa melepaskannya secara paksa.
"Kita sarapan dulu. Kau belum sarapan, bukan?" tebak Sophia benar. Justin hanya menatap lurus ke arah jalanan yang akan di laluinya. Justin menghidupkan mobil, menekan pedal gas membuat mobilnya melaju membelah jalanan.
"Just, kita sarapan di Nagoya's Cafe, ya. Aku sudah lama tidak kesana," bujuk Sophia cerewet. Sedari tadi, Sophia sibuk membujuk Justin agar mau menuruti kemauannya. Ia bahkan menggoyang-goyangkan tangan Justin.
"Kau jangan mengangguku seperti itu! Kau mau kita kecelakaan?" kesal Justin. Sophia benar-benar menganggu konsentrasinya dalam berkendara.
"Maka dari itu, kau harus menuruti kemauanku. Ayolah just," melas Sophia. Justin mendapati Sophia yang berbeda pagi ini. Biasanya jika sudah dibentak, Sophia akan diam. Gadis itu tidak akan melawan. Tetapi, pagi ini perbeda.
"Baiklah, baiklah," ujar Justin akhirnya. Tidak akan ada gunanya ia beradu argumen dengan Sophia. Paginya sudah cukup buruk kali ini.
Justin memakirkan mobilnya di Nagoya's Cafe. Ingatannya kembali pada saat pertemuannya dengan Ariana di cafe itu. Disanalah perjanjian konyol itu dibuat."Ayo Just, aku lapar." Sophia menarik Justin memasuki cafe itu. Entah mengapa, Justin menerima saja apa yang dilakukan Sophia padanya. Apa ini sebagai permintaan maafnya pada Sophia?
Sophia memesan makanan untuk dirinya dan Justin. Wajah gadis itu terlihat sangat ceria. Momen-momen seperti ini seakan tidak akan pernah bisa lagi didapatkannya.
"Setelah ini, kita langsung ke kampus?" tanya Sophia. Justin hanya mengangguk singkat. Ia sedang bernostalgia dengan kenangannya disini. Ariana kembali muncul di benaknya. Ia masih ingat bagaiamana wajah takut Ariana. Sangat lucu.
Justin tiba-tiba saja rindu pada gadis bermata coklat itu. Di cafe ini membuatnya flashback dan merindukan Ariana. Padahal baru semalam ia bertemu gadis itu untuk mengajak Ariana makan malam bersama di apartemennya.
"Just, sampai kapan kau mau melamun? Ayo makan sarapanmu," tegur Sophia. Justin kembali pada kesadarannya. Ternyata sepiring pancake dengan saus blueberry beserta segelas susu coklat sudah tersaji di hadapannya. Ini kan sarapan kesukaannya, bagaimana Sophia bisa tahu?
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tahu semua tentangmu, Just. Sekarang, makanlah," ujar Sophia lembut. Justin mengangguk kecil, mulai menyuapkan sarapannya ke dalam mulut. Di otaknya kini timbul berbagai pertanyaan. Apa benar Sophia sangat mencintainya hingga gadis itu tahu semua tentangnya?
*tbc
Love,
Vand🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
(Fake) Girlfriend
RomanceSebuah insiden kecil membuat Ariana William terpaksa harus terlibat dengan perjanjian konyol yang dibuat oleh Justin Orion. ©️2015 Vandesca