Hidup adalah skenario dari Tuhan yang tidak pernah tertebak oleh manusia bagaimana alur ceritanya. Manusia tidak mampu membaca skenario Tuhan, tetapi manusia bisa saja mengubah skenario itu ke jalan yang lebih baik.
Justin mengacak rambutnya sembarangan. Ini sudah memasuki hari ke tujuh semenjak masa perjanjiannya dengan Ariana berakhir. Ya, perjanjian itu habis. Mereka sudah kembali ke kehidupan masing-masing. Namun, ada suatu kejanggalan yang dirasakan Justin saat ia menyadari Ariana tidak akan ada lagi untuknya.
Argh! Aku ini kenapa?
Justin kesal pada dirinya sendiri. Akhir-akhir ini, ia merindukan Ariana. Ia merindukan saat dimana ia bisa dengan bebas menghubungi gadis itu, menyuruhnya untuk datang. Ia merindukan dimana ia mendengar ocehan dari Ariana. Ia merindukan semua tentang gadis itu.
Tidak! Aku tidak mungin merindukannya.
Justin membantin pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa ia tidak mungkin merindukan seorang Ariana William. Untuk apa ia merindukan gadis itu? Ariana bukan siapa-siapa baginya. Ariana hanya seorang gadis yang kebetulan saja terperangkap bersamanya untuk melaksanakan perjanjian bodoh yang mampu membuatnya lepas dari Sophia. Kini, Sophia sudah pergi. Ia tidak lagi membutuhkan Ariana.
Justin memandang keluar melalui jendela kamarnya. Hari sudah mulai beranjak sore. Langit berkanvas oranye. Justin menghela nafasnya kasar. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri.
"Justin!" suara Jenna dari luar membuat Justin mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dengan langkah tersaruk, ia membuka pintu untuk ibunya.
"Ada apa, Mom?"
"Kau kenapa? Kenapa murung begitu?" tanya Jenna perhatian saat mendapati ada aura kemurungan yang menyelimuti anaknya. Justin menggeleng kecil.
"I'm fine, Mom," bohong Justin. Tidak. Lelaki itu tidak baik-baik saja.
"Benarkah?"
"Ya, Mom. Ada apa kau memanggilku?"
"Ada Ryan di luar." Jenna menunjuk ke arah luar.
"Ck, sejak kapan anak itu tidak masuk saja ke kamarku. Suruh saja dia untuk langsung ke kamarku, Mom,"
"Baiklah." Jenna berbalik, meninggalkan kamar anaknya. Justin kembali duduk di atas kasurnya, membiarkan pintu kamar tetap terbuka. Ryan akan masuk sebentar lagi, biarkan lelaki itu yang menutupnya sendiri.
"Buddy!" Ryan masuk ke kamar Justin dengan heboh. Dengan satu kaki, ia menutup pintu hingga menimbulkan bunyi yang cukup kencang.
"Cih, untuk apa kau pakai permisi untuk masuk kamarku? Biasanya langsung saja," cibir Justin. Ryan tergelak karena cibiran sahabatnya itu.
"Sejak satu minggu ini. Kau berubah lebih mengerikan. Aku hanya takut jika tiba-tiba saja kau memakanku," canda Ryan. Justin memukul bahu Ryan, lalu ikut tertawa bersama sahabatnya itu.
"Darimana kau tahu aku di rumah?"
"Kau tidak ada di apartemen saat aku ke sana, jadi aku simpulkan saja kau berada di rumah. Bebanmu kali ini cukup berat, eh?" sindir Ryan. Ya, Justin akan selalu pulang ke rumah saat ia tidak mampu lagi menanggung suatu beban yang dipikulnya. Bagi Justin, jika ia tetap berada di apartemen seorang diri, itu tidak akan pernah memberinya solusi.
"Entahlah Yan," jawab Justin lesu.
"Biar ku tebak, masih tentang Ariana?" tebak Ryan tepat sekali. Justin terdiam. "Aku benar atau aku benar?"
"Shut up, Yan," kesal Justin. Ia benci untuk mengakui jika Ryan benar. Ia benci untuk mengakui jika memang Ariana yang menjadi bebannya akhir-akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Fake) Girlfriend
RomanceSebuah insiden kecil membuat Ariana William terpaksa harus terlibat dengan perjanjian konyol yang dibuat oleh Justin Orion. ©️2015 Vandesca