Epilog: Hume Descartes

212 12 2
                                    

—Tahun 800, kalender Baru

Di suatu tempat di dunia, berdiri sebuah desa damai.

Tanahnya begitu subur, hutan-hutan mengelilingi desa itu seperti banteng alami.

Udaranya begitu sejuk. Tidak terlalu dingin, dan tidak juga panas. Siapa pun bisa merasakannya di setiap hirupan nafas.

Para penduduknya ramah-ramah, mereka memiliki kulit sawo matang. Hidungnya kecil namun tidak pesek, rambutnya berwarna hitam mengkilap, pupil matanya berwarna hitam pula.

Di antara mereka semua, seorang pemuda sedang berjalan. Ia ditemani oleh temannya yang sangat setia.

Mereka berdua mengenakan jubah sampai ke kaki yang menutupi postur tubuh mereka. Di tangan mereka ada sebuah buku tebal berwarna cokelat tua.

"Tentang materi kemarin, menurutmu bagaimana Hume?" Tanya teman pemuda itu padanya.

"Menurutku ... bulan itu bukan tuhan, matahari juga bukan." Jawab pemuda itu dengan suara pelan.

Nama pemuda itu adalah Hume Descartes, sedangkan temannya bernama Thomas Aquinas.

"Kau ini memang beda ya ..."

"Sepertinya begitu."

Percakapan mereka berhenti di sana, mereka terus melanjutkan langkah mereka menuju sekolah tempat mereka belajar.

"Tapi ..."

Ucapan Hume terhenti sejenak seakan hendak berpikir.

"Tapi apa?"

"Menurutku tidak masalah siapa itu Tuhan, manusia memiliki imannya masing-masing."

"Hoo, lalu menurutmu siapa itu Tuhan?"

Hume memegang dagunya, mencoba memilih kata-kata.

"Itu pertanyaan yang sulit. Satu hal yang kuketahui adalah ..."

"... bahwa aku tidak mengetahui apapun." Potong Thomas melanjutkan ucapan Hume.

"Tapi itu memang benar, aku ini tipe orang yang belum akan percaya sebelum merasakannya langsung."

"Hmm ... jadi, kau juga tidak percaya Surga dan Neraka?"

"Bukannya tidak percaya, tapi belum percaya."

"Aku tak bisa membedakan keduanya."

"Yah, aku sih tidak memaksa."

"Tapi kulihat, sampai sekarang kau masih berdoa pada dewa bulan."

"Menurutku, tuhanku tidak akan marah dengan hal sepele seperti itu."

"Ahh, kau membuat kepalaku berputar-putar."

Tiba-tiba, di tengah kedamaian itu, Hume merasakan sakit yang amat sangat di kepalanya. Urat-uratnya muncul ke permukaan, menciptakan pola-pola garis berwarna biru di keningnya. Ia pun menghentikan langkahnya, menutup kelopak matanya, lalu menopang keningnya dengan tangan kanannya.

Sial! Ini terjadi lagi!, pikir Hume.

Gambaran-gambaran aneh mengalir di pikirannya. Ia merasa seakan sesuatu seperti air panas sedang mengisi kepalanya. Kosakata baru, pemandangan baru, nama orang-orang, sejarah yang asing, ilmu pengetahuan, semua mengalir ke dalam pikirannya. Semakin membesar, membesar dan membesar, membuat kepalanya serasa ingin meledak.

Fenomena ini disebut sebagai "Dirasuki Iblis". Sesuai namanya, masyarakat percaya bahwa siapa pun yang mengalaminya maka ia telah dirasuki iblis. Orang yang mengalaminya akan dibawa oleh kaum Sophis dan takkan kembali. Di sisi lain, masyarakat juga akan panik, dan berteriak-teriak.

The Cursed Finger [Dipaksa Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang