Pertemuan Pertama

663 75 1
                                    

Waktu terus berputar. Dini hari. Mereka tiba di London. Meski sudah lewat tengah malam, tetap saja lampu-lampu disini masih bergemerlap. Kota ini sangat bersih. Indah. Semua itu seharusnya memanjakan mata. Tapi Sisil? Sama sekali tidak. Dia malah mencampakannya dan lebih memilih dengan novelnya. Ya, Sisil memang tidak bisa lepas dari novel. Mereka menghadang taksi yang lewat. Ibu Sisil menyodorkan kertas berisi alamat rumah temannya itu. Tidak banyak bicara, taksi itu melesat membawa sisil dan ibunya. Dan akhirnya sampai di rumah teman ibunya. Mengetuk pintu pelan-pelan. Takut mengganggu. Tidak lama, seorang wanita membukakan pintu.

"Oh my God! Hallo! Akhirnya kamu datang juga," sambut teman ibu Sisil dengan wajah sumringah. Sisil hanya diam dan heran. Bagaimana mungkin? Ini London, bukan Indonesia. Tapi dia, wanita itu, dengan lancar berbahasa Indonesia, Apa semua anggota keluarganya seperti dia? Pandai berbahasa? Entahlah. Sisil akan mengetahuinya nanti.

Teman ibu Sisil menyilakan mereka masuk. Senyap. Semua sudah tidur. Sisil tidak melihat anak-anak dari wanita ini. Sekarang bukan waktunya memikirkan itu semua. Sudah larut. Semua lelah. Semua harus tidur sekarang. Teman ibu Sisil sepertinya memang sangat baik dan tidak keberatan mereka tinggal disini. Lihat saja, wanita ini bahkan sudah menyiapkan kedatangan mereka. Dua petak kamar yang nyaman dan bersih.

"Kamu Sisil?" tanya teman ibu Sisil.

"Ah, iya. Saya Sisil. Kalau boleh tahu, bagaimana Ibu bisa berbahasa Indonesia? Apa Ibu pernah tinggal di sana?"

"Wah, kamu cantik banget! Oh iya, panggilnya tante aja. Ha ha ... soal bahasa, iya, kamu benar. Tante pernah tinggal di sana. Ibumu yang mengajari. Dia baik banget sama Tante. Dan Tante mengajarkannya pada suami dan anak-anak Tante. Sekarang semuanya udah tidur. Kalian juga harus tidur. Besok kita lanjutin obrolannya."

"Ha ha ... iya, Tante. Makasih."

Kamar sisil dan ibunya berdekatan. Ibunya sudah tidur lelap. Tapi sisil tak kunjung juga memejamkan matanya. Walaupun rumah ini sangat bersih dan nyaman, tetap saja Sisil belum terbiasa dengan semua ini. Apa dikata, novel lah penolong Sisil saat ini. Baru saja Sisil mulai membaca, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Tapi diabaikan begitu saja oleh Sisil. Dalam benaknya, ini hanyalah suara kaki penghuni rumah ini. Dia pun bahkan juga tidak mau tahu siapa penghuni rumah ini. Tiba-tiba suara gelas pecah terdengar. Sangat mengganggu. Sisil pun keluar dan melihat apa yang terjadi. Dilihatnya seorang lelaki sedang membersihkan pecahan gelas. Sisil hanya diam dan melihat di belakangnya. Enggan berbicara. Tapi lelaki ini menyadari keberadaan Sisil. Dia pun menoleh.

"Oh my God! Who are you?"

"Oh maaf, aku tadi kebetulan lewat dan mau balik ke kamar. Saya Sisil. Siapa kamu?" basa-basi Sisil.

"Wait, Indonesia? Oh, kamu anak teman Mommy aku? Kamu yang akan tinggal disini itu, kan?"

Benar, lelaki ini bisa berbahasa Indonesia. Logatnya pun terbilang cukup bagus untuk seorang yang memang bukan orang Indonesia tulen.

"Ah iya, kami akan tinggal disini. Siapa namamu?"

"Perkenalkan, aku Harris. Aku anak pertama dari lima bersaudara disini. Nama kamu tadi ... Sisil, kan? Aku hampir lupa. Ha ha ... kamu daritadi belum tidur? Baru sampai, ya?"

"Iya, kami baru aja sampai. Eh udah malam banget. Aku duluan tidur, ya."

"Oh, oke. Semoga kamu sama ibumu nyaman di sini."

Tanpa jawaban lagi, tanpa basa-basi lagi, tanpa bicara lagi, dirasa cukup, Sisil pun masuk ke kamar. Sebenarnya dia tidak peduli dengan lelaki tadi. Dia ingin pergi begitu lelaki itu menoleh. Tapi bagaimana, ini rumahnya. Sisil adalah pendatang. Jadi dia harus bersikap sopan dan ramah kepadanya. Sungguh sandiwara belaka.


Edited on 4-2-16

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang