Semakin Rapuh

431 51 5
                                    

"Oh ya Ris, gimana kuliah kamu?" tanya Sisil saat menyusuri jalanan kota bersama Harris.

"Baik, semua lancar. Nggak ada masalah. Kadang aku suka sebal sama dosen aku. Dia kalau ngasih nilai suka seenaknya," ujar Harris kesal.

"Namanya juga dosen. Nggak pernah salah. Itu yang mereka katakan." Sisil tersenyum tipis.

"Iya kamu benar. Kamu nggak mau nyoba daftar kuliah lagi?"

"Kuliah? Aku masih belum kepikiran setelah apa yang udah aku lalui. Kalau aku sudah sembuh, baru aku mulai semuanya dari awal lagi. Aku nggak mau Ibu semakin kebeban sama biaya."

"Aku yakin kamu akan cepat sembuh." Harris tersenyum ke arah Sisil. Sedetik kemudian, senyumnya memudar. "Sil? Kamu nggak papa?" Seketika Harris menjadi panik tatkala melihat wajah Sisil yang mendadak berubah menjadi pucat.

"Aku nggak papa, kok. Tadi cuma belum makan aja. He he," ucap Sisil yang tidak mau membuat Harris khawatir.

"Kalo gitu, kita beli makan dulu, yuk?" ajak Harris sambil memegang bahu Sisil.

"Enggak, Ris, aku nggak papa, kok. Kamu nggak usah khawatir gitu. Kita percepat jalannya aja." Sisil tersenyum getir. Wajahnya pucat pasi. Badannya seketika lemas.

"Sil, kita naik taxi aja, ya? Kamu nggak bisa jalan. Nanti tambah sakit," bujuk Harris.

"Enggak Ris, aku nggak papa. Ayo jalan!" Sisil menarik lemah jaket yang dikenakan Harris.

"Bentar! Kamu pakai ini!" Harris melepas jaket hitamnya, lalu memakaikan ke tubuh Sisil.

"Makasih, Ris," ujar Sisil sambil melayangkan senyum yang dipaksakan. Saat ini yang dia rasakan adalah pusing. Sisil tidak sedang tidak apa-apa.

"Iya. Tapi percaya sama aku, kita naik taxi, ya? Nah! Itu ada yang mau lewat ke sini."

Harris mencegat taxi yang lewat di depan mereka, menggenggam erat tangan Sisil yang dingin dan gemetaran. Tubuhnya semakin lemas. Wajahnya semakin pucat.

*****

"Aku akan telfon Tante," ucap Harris meraih ponsel yang berada di saku celananya. Mencari kontak ibu Sisil.

"Jangan, Ris! Jangan beri tahu ibuku," Sisil meraih ponsel Harris, mencegahnya. "Aku nggak mau Ibu khawatir. Ibu pasti lagi mikirin bisnisnya. Ibu nggak di rumah sekarang. Aku nggak mau bikin Ibu tambah buyar gara-gara aku."

"Tapi, Sil ...."

"Aku mohon jangan."

"Pak, bisa lebih cepat?" suruh Harris kepada supir taxi.

"Maaf, tapi kita tidak diperbolehkan mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi," jawab si supir taxi.

"Tapi, Pak, ini masalah keselamatan. Bapak mau gadis di sebelah saya keadaannya menjadi lebih parah? Kalau kenapa-napa, Bapak juga bisa jadi repot."

"Tapi ...."

"Sudah Pak, jangan pakai tapi-tapi. Ini sudah mendesak. Dikebutin saja Pak, nanti saya bayar lebih," bujuk Harris. Si Sopir mulai mengegas mobilnya lebih kencang. Lagi pula, siapa yang tidak mau dibayar lebih?Taxi itupun melesat dengan kecepatan di atas rata-rata.

Harris merengkuh tubuh Sisil. Tangannya menggenggam erat jemari tangan Sisil. Menatapnya sendu. Tak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan. Sangat tidak tega melihatnya terkulai lemas seperti ini.

"Maaf Sil, seharusnya aku tadi enggak ngajak kamu ke taman kota."

"Enggak apa-apa, kok. Kamu nggak salah Ris. Nggak ada yang harus disalahkan. Enggak usah dipikirin. Aku nggak papa."

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang