Firasat yang Menghantui

591 57 7
                                    

Pukul 11.30 malam waktu London. Langit bersih tak tersentuh apapun. Bintang-gemintang malu menampakkan wujudnya. Rembulan pun tak kunjung menggantung indah di langit seperti biasanya. Benar-benar hanya gelap yang terlihat di langit. Harris duduk sendirian di atap rumah paling atas. Melamun. Memandangi langit kelabu. Sama kelabunya dengan hatinya saat ini. Entah apa yang terjadi padanya. Cerita gadis yang duduk di sebelahnya di kursi taman, yang menangis, mengadu akan masa lalunya pagi tadi, membuat hati Harris menjadi tidak keruan. Sangat tidak tega mendengar cerita memilukan itu. Betapa tidak beruntungnya gadis itu. Tidak disangka, diamnya selama ini karena suatu alasan. Alasan pahit yang menimpanya. Waktu mendengar cerita itu, hati Harris tergerak untuk melindunginya. Sisil. Entah darimana datangnya, firasat itu muncul. Seperti sebuah peringatan namun juga perintah. Peringatan tentang apa, Harris tidak tahu. Perintah tentang apa, firasat itu mengatakan untuk menjaga Sisil. Selalu terbayang akan Sisil dan cerita itu. Bukankah cerita seperti itu merupakan hal yang sering didengar? Tapi kali ini berbeda. Harris benar-benar gelisah. Sementara itu, gadis yang dipikirkan sudah sedari tadi terlelap sambil memeluk erat gulingnya.

Tidak sengaja, kaki Harris menyampar genteng paling tepi dan pyar! Alhasil, genteng itu jatuh dan mengenai pot bunga persis di dekat kamar Sisil. Sisil pun kaget dan sontak terbangun dari mimpinya.

"Hah! Suara apa itu?" ucap Sisil setengah takut.

Sisil mendekat ke arah sumber suara tersebut. Dilihatnya hanyalah pecahan genteng.

"Genteng? Gentengnya pecah? Kok bisa? Ada kucing berkejaran?" mata Sisil celingukan melihat ke atas. Tidak ada apa-apa. Sisil tak melihat apapun di atas. Dia pun kembali ke tempat tidurnya dan memeluk gulingnya. Tapi matanya tak kunjung juga terpejam. Sisil malah menjadi kepikiran apa yang dikatakannya tadi pagi dengan Harris.

"Kenapa aku tadi menceritakan masa laluku yang kelam itu padanya? Dia benar juga. Siapa dia bisa tau urusanku? Kenapa mulutku tadi sangat ikhlas mengatakannya? Kenapa aku tadi gak berpikir dua kali sebelumnya?" gumam Sisil setengah tidak rela masa lalunya terbagi bersama Harris.

Tiba-tiba lamunan Sisil buncah oleh suara pecahan barang. Untuk kedua kalinya genteng itu kembali mendarat menghantam pot bunga di dekat kamarnya. Sisil semakin penasaran. Sisil kembali mendekati sumber suara tersebut.

"Duh! Lagi-lagi pecahan genteng. Kok bisa-bisanya jatuh lagi? Pasti ada sesuatu di atas. Dan itu gak mungkin kucing. Lalu apa?" Lagi-lagi bola mata sisil celingukan mencari-cari biang kerok si pemecah genteng.

"Oh, hai, Sisil! Belum tidur? Atau kebangun gara-gara suara itu ya? Aku gak sengaja menyampar genteng itu, dan jatuh. Mungkin karena posisi dudukku yang gak pas. Maaf ya, jadi ganggu. He he ...." Terlihat kepala Harris sambil berteriak ke arah Sisil yang dikarenakan jarak mereka memang tidak dekat. Kamar Sisil berada di lantai paling bawah. Sedangkan Harris di lantai paling atas, di atap pula.

"Kamu ngapain di atas sana?" teriak Sisil dengan wajah keheranan.

"Gak ada. Cuma lagi mengamati bintang dan rembulan. Lebih tepatnya, sih, menunggu mereka muncul memenuhi langit. Ha ha ha ... kamu mau ke atas sini? Asyik, lho! Coba, deh!" teriak Harris antusias.

"Hah? Duduk di atap? Gila apa? Nggak, ah! Aku takut sama ketinggian," teriak Sisil sambil nyengir.

"Ha ha ha ... kalau gitu, aku yang turun." Nekat! Harris benar-benar nekat. Harris loncat begitu saja dari atap. Sisil hanya keheranan melihat tingkah Harris.

Mereka menuju kursi dekat kolam ikan. Udaranya terasa dingin. Tidak bagi Harris, dia sudah terbiasa.

Mereka duduk di kursi itu. Terlihat tangan Sisil mendekap ketubuhnya sendiri yang menandakan dia kedinginan.

"Pakai ini!" Harris mengulungkan jaket hitam yang dipakainya sedari tadi.

"Kamu? Gak usah! Kamu aja yang pakai," tolak Sisil.

"Aku udah kebiasa sama udara malam London. Sebenarnya aku gak kedinginan. Aku cuma ingin pakai aja. Ambilah! Apa perlu aku pakaikan? Ha ha ...," canda Harris.

"Ha ha ... terima kasih, Harris. Tadi kamu bilang udah kebiasa? kamu sering keluar malam-malam begini?" tanya Sisil.

"Iya. Aku sering keluar malam-malam begini naik ke atap di lantai dua," jawab Harris.

"Buat apa? Gak takut?" tanya Sisil penasaran.

"Sekedar cari inspirasi aja, sih. Dan kenapa mesti takut? Takut itu sama Allah. Ha ha ha ...." Harris tertawa lagi. Begitupun Sisil, meski terlihat malu-malu mengeluarkan suara tawanya.

"Dari tadi gak tidur?" tanya Sisil memotong tawa Harris.

"Gak. Aku gak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Aku kebayang sesuatu yang bikin aku terus kepikiran sampai kayak sebuah firasat sedang menuhin kepalaku. Aku gak tau apa itu bisa disebut firasat atau bukan. Yang jelas, kayaknya aku gak bisa mengabaikannya gitu aja," papar Harris.

"Kepikiran apa? Firasat apa?"

"Aku gak bisa kasih tau kamu, Sil. Aku aja gak tau harus berbuat apa." Harris tersenyum ke arah Sisil.

Dalam batin Sisil, dia berkata, Apa maksudnya? Aneh banget! Firasat? Berarti itu pertanda? Mengenai siapa? Kenapa perasaanku jadi gak enak gini?

"Sil, udah larut banget, nih! Aku ngantuk, mau tidur. Kalau dipaksain nanti gak bisa bangun shalat shubuh. Kamu mau ikut masuk atau disini?"

"Oh iya, makin malam. Aku juga udah mulai ngantuk. Yaudah, aku ikut masuk."

Mereka beranjak dari kursi dekat kolam ikan itu lalu masuk ke dalam rumah. Sisil dan Harris pun tidur di kamar mereka masing-masing.

Harris langsung terlelap dalam tidurnya. Sementara Sisil masih merenung di kamar. Kata-kata Harris malam ini membuatnya susah tidur.

"Firasat apa maksudnya? Pertanda akan apa? Tunggu! Kenapa aku jadi ikut mikir? Memangnya aku ada kaitannya dengan itu? Hah, lebih baik tidur daripada nanti gak bisa bangun shalat shubuh." Sisil pun memaksakan matanya agar terpejam.

***

Malam berganti fajar. Suara adzan terdengar samar-samar. Sisil bangun dari tidurnya. Lalu mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat shubuh. Dilihatnya sudah ada Harris di mushala sederhana dalam rumah. Sementara yang lain, sama seperti dirinya. Sedang berwudhu.

Setelah semua selesai berwudhu, mereka pun menuju mushala. Kali ini Harris ditunjuk ayahnya untuk menjadi imam lagi.

Dua puluh menit berlalu. Seperti biasa, Harris mengambil Al-Qur'an. Sisil juga belum beranjak dari tempat duduknya. Terlihat raut muka yang sedang gelisah. Harris yang mendapati Sisil sedang melamun akhirnya mendekatinya.

"Ehm ... ehm ...," Harris berdehem di dekat Sisil.

Sisil belum juga terbangun dari lamunannya.

"Hei, Sisil! Jangan ngelamun! Nggak baik lho masih pagi udah ngelamun," kata Harris yang sedikit mengagetkan Sisil.

"Oh, Harris! Kamu bikin kaget aja," ucap Sisil dengan ekspresi kagetnya.

"Mikirin apa? Terjadi sesuatu?" tanya Harris.

"Enggak kok. Gak kenapa-kenapa."

"Kalo gitu, daripada ngelamun, mending kita ngaji bareng. Biar pikiran sama hati bisa tenang. Gimana?" ajak Harris.

"Kamu benar juga. Ngapain aku ngelamunin hal yang gak jelas. Sebentar ya, aku ambil Al-Qur'annya dulu." Sisil pun beranjak dari duduknya dan mengambil Al-Qur'an. Mereka pun bersama-sama melantunkan ayat suci Al-Qur'an.


Edited on 5-2-16

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang