Maaf

518 56 6
                                    

Sisil terus berlari dan berlari. Hari semakin larut. Dia menghentikan langkahnya di sebuah jembatan. Darahnya masih saja mengalir. Jembatan ikut berdarah, meski sebagian sudah mengering. Sekalipun, dia tidak mau membersihkannya. Orang-orang yang berlalu lalang menatap heran. Sesekali memperingatinya.

"Hey girl! There's a blood!"
"Hey! What had happened to you?"
"Look at your nose!"
"Are you okay?"

Namun, Sisil tak menghiraukannya. Tidak juga menoleh. Dia hanya menatap kosong. Memperhatikan aliran air yang mengalir dari ketinggian di atas jembatan. Air matanya masih berjatuhan. Hari ini dia banyak menangis. Berjam-jam mematung hingga larut malam. Orang-orang sudah tak lagi berlalu lalang. Tak lagi memperingatinya. Tak lagi bertanya. Darahnya sudah berhenti. Mengeras.

Telepon berkali-kali bergetar. Panggilan dari ibunya, Harris, ayah dan ibu Harris, hingga adik-adik Harris. Semuanya menelepon. Tapi tak satupun diangkatnya.

Drrrd drrrd drrrd drrrd drrrd

"Lagi? Apa gak bosan mereka nelfon?" Sisil menonaktifkan ponselnya. "Udah malam. Lama-lama aku juga risih sama darahnya. Maybe, go back home is a good choice. Tapi ... harus pulang kemana? Apa rumah itu udah boleh ditinggali?" Sisil berbicara kepada dirinya sendiri, lalu meninggalkan jembatan itu. Meninggalkan bekas darah. Kakinya membawanya ke rumah sewaannya.

*****

"Gimana? Ada jawaban?" tanya ibu Harris yang terus berharap Sisil menjawab panggilan ibunya. Ibu Sisil hanya menggeleng.

"Sekarang biar aku yang telfon, Tante." Harris kembali mencari kontak Sisil. Mendekatkan ponsel ke telinganya.

Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

"Oh shit! Kenapa malah operator, sih, yang jawab? Pasti dia matiin ponselnya. Kita harus mencarinya, Tan, Mom. Kalau dia kenapa-kenapa gimana?"

"Harris, lebih baik kamu tenang. Keadaanmu juga lagi begini. Biar Daddy sama ibu Sisil yang cari."

Sedetik kemudian, pesan masuk.

"What? Sisil!" Harris segera membaca pesan itu.

Sisil: Hai Harris! Maaf, aku tadi sengaja matiin ponsel. Kalian kebanyakan nelfon. Padahal aku lagi pengen sendiri. Tapi ponselnya malah getar mulu. Jangan khawatirkan aku. Aku gak apa-apa. Aku juga gak akan ngelakuin hal bodoh apapun. Jangan pergi mencariku. Aku udah ada di rumah sekarang. Di rumah sewaan. Tadi pemiliknya masih menunggu untuk ngasih kuncinya. Dan tolong jangan susul aku."

"Mom, Tan, Dad, semuanya, Sisil gak apa-apa. Sekarang dia ada di rumah sewaan. Dia gak mau disusul. Dia gak ingin di ganggu sekarang. Tapi apa kita akan biarin aja?"

"Oh thanks, God!" ucap ibu dan ayah Harris serempak.

"Alhamdulillah. Meski dia gak mau mengabariku, setidaknya dia udah pulang. Tapi tetap saja, aku masih belum tenang. Aku akan menyusulnya," ibu Sisil tak henti-hentinya memikirkan anaknya.

"Sudahlah! Tenang saja dulu," ibu Harris menepuk-nepuk pelan pundak ibu Sisil.

"No, I can't. Aku akan pulang. Anak-anakmu juga sudah sangat lelah. Daripada mereka tidur di sini, aku akan membangunkan dan mengajak mereka pulang bersamaku," ibu Sisil akhirnya pulang bersama Yusha, Abdurrahman, Mea, dan Ayla. Sementara ayah dan ibu Harris masih menunggui Harris yang terbaring di ranjang rumah sakit.

"Mom, aku juga mau pulang," ucap Harris yang terlihat khawatir dengan Sisil.

"Sudah Ris, Sisil sudah ada ibunya. Dia gak akan kenapa-kenapa. Kamu mencemaskannya, kan?" tanya ibu Harris sambil mengelus rambut curly Harris.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang