Mimpi di Depan Mata

561 56 4
                                    

Hampir satu bulan Sisil dan ibunya tinggal di rumah Harris. Tiga hari lagi mereka dapat rumah baru di London. Tepatnya di samping rumah Harris. Walau hanya berstatus rumah sewaan. Harris dan Sisil pun semakin akrab. Perlahan, Sisil lebih terbuka dengan Harris. Itu pun semua tak lepas dari Harris. Harris yang selalu memulai bicara pada Sisil. Harris yang selalu membuat nyaman. Harris yang selalu bisa mencairkan suasana. Semua karena Harris. Gadis yang dulunya terlalu pendiam, kini bisa tertawa. Dan bisa dibilang sekarang jadi banyak bicara. Entah apa yang dilakukan Harris pada Sisil. Bak sihir yang bisa mengubah Sisil begitu cepat dalam kurun waktu tidak lebih dari satu bulan. Sejenak, firasat yang menghantui Harris pun terlupakan. Begitupun Sisil, tak pernah memikirkannya lagi.

Hari masih pagi. Sisil duduk di kursi taman rumah sambil memegangi ponselnya. Tak luput, novelnya pun tetap di bawanya meski sekarang menganggur di dekatnya. Dia masih sibuk mengurusi universitas. Kali ini Sisil memantapkan diri masuk universitas di London. Tepatnya di Cambridge University. Universitas yang sama seperti Harris. Lusa lalu, Sisil sibuk melakukan serangkaian tes guna masuk universitas itu. Dan hari ini adalah pengumumannya. Sorot wajah yang sedikit gelisah pun menyelimutinya. Meski saingannya terlampau banyak, dia sangat berharap hari ini keberuntungan berpihak padanya. Harris yang melihat Sisil dengan wajah yang sebenarnya tidak enak untuk di pandang, mendekatinya.

"Sil!" teriak Harris mendekati Sisil.

"Oh, Harris!" balas Sisil tanpa menoleh.

"Sedang apa? Sibuk banget. Kasihan novelnya. Pemiliknya jahat banget. Ngebiarin tergeletak gitu aja. 'Lambaian Tangan Ayah'. Judulnya bagus. Novelnya menceritakan tentang apa?" Harris duduk di sebelah Sisil sambil membolak-balik novel.

"Harris! Bisa diam gak, sih? Aku lagi serius, nih!" Nada bicara Sisil yang sedikit naik menunjukkan bahwa dia memang sangat tidak ingin diganggu.

"Ya maaf, Sil. Habisnya dari tadi fokusnya ke ponsel, sih," gerutu Harris.

"Terus? Pengumumannya kan hari ini. Jadi tolong banget jangan ganggu dulu!"

"Pantas aja daritadi mukamu ...."

"Kenapa dengan mukaku?" sahut Sisil dengan sinis.

"Eh enggak. Mukamu ... mukamu itu kayak Mommy-ku. Ha ha ha ...." Harris pun hanya tersenyum ke arah Sisil.

"Hah? Tante? Muka aku itu kayak Ibu, bukan Mommy-mu, Harris."

"Hmm ... maksudku bukan itu. Kamu cantik kayak Mommy."

Seketika Sisil yang mendengar ungkapan Harris barusan, kaget dan tersipu malu. Menatap wajah Harris dengan pipi yang sedikit memerah. Sisil salah tingkah.

"Eh kenapa kamu ini? Kenapa menatapku kayak gitu? Kenapa? Kagum? Baru sadar kalo aku ganteng? Ha ha ha ... aku bilang gitu karena kamu perempuan, yaaa ... masa iya aku bilang 'kamu ganteng Sil', kan gak mungkin. Ha ha ha ...."

Sisil langsung melontarkan wajahnya menjauh dari pandangan Harris.

"Idih apaan, sih? Ganteng? Biasa aja. Kagum? Gak sama sekali. Jangan kepedean, deh! Aku juga biasa aja kok kamu bilang begitu barusan. Mendingan kamu pergi aja, deh! Gak ngampus apa?"

"Ciee salah tingkah ... ketauan gak pernah ada yang muji," ejek Harris, "hari ini aku masuk malam. Jadi masih santai, lah."

"Udah deh sana pergi! Ngapain gitu. Pokonya jangan di sini. Ganggu aja!" Sisil mengusir Harris agar menjauh darinya. Tapi tingkahnya malah serba salah.

"Ceritanya marah karena salah tingkah? Yaudah deh aku pergi. Semoga keterima, ya!" Harris tersenyum ke arah Sisil dan beranjak dari kursi meninggalkan Sisil.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang