Hal Buruk Terjadi

639 57 22
                                    

Hari sudah larut. Sudah waktunya orang-orang memejamkan mata dan merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Tapi tidak bagi Harris. Malam ini, seperti malam lalu, Harris kembali duduk menatap langit diatas atap rumah. Hal yang sangat menyenangkan baginya. Menghilangkan penat seharian. Kali ini, bintang-gemintang berbaik hati menampakkan pesonanya. Bertebaran di langit London. Membentuk berbagai formasi. Begitu juga dengan rembulan. Menggantung indah mendampingi bintang. Harris tidak ingin ceroboh lagi seperti dulu. Kakinya tidak boleh lagi menyampar genteng. Takut membangunkan Sisil dari tidurnya.

"Hei bintang! Kau tahu? Akhir-akhir ini ada perasaan yang berbeda di hatiku. Setiap aku melihatnya, entah mengapa, rasa lelahku hilang. Gadis yang dulunya sulit dimengerti, sulit diajak bicara, namun sekarang dia berubah. Periang, banyak bicara, banyak tertawa, terkadang juga konyol. Aku menyukainya yang seperti ini. Dan aku rasa itu semua karena aku. Tapi aku tidak bisa merubahnya untuk memusatkan seluruh perhatiannya hanya padaku. Aku selalu saja dibuat cemburu saat melihatnya selalu berduaan dengan novelnya. Apakah aku gila? Cemburu dengan benda mati? Entahlah. Ini benar-benar aneh. Aku rasa aku memang benar-benar jatuh cinta kepadanya. Tapi, sebentar lagi dia tidak akan tinggal di sini. Rumah sewaannya memang tidak jauh. Sangat dekat malah. Tapi tetap saja, inginku dia benar-benar tinggal di sini bersamaku. Selamanya. Apa aku harus bilang padanya tentang perasaanku ini? Hmm ... aku tidak yakin itu. Bagaimana kalau dia tidak menyukaiku? Lalu malah membuatnya canggung? Ah sudahlah, aku yakin, perlahan dia akan tahu semuanya." Harris mengoceh sendirian di atas atap. Mengadu perasaannya kepada bintang. Rembulan pun ikut mendengarkan celotehannya.

Tiba-tiba, suara jeritan yang memekakkan telinga membuncahkan pikiran Harris.

"Tidak! Tidak! Jangan! Ibu! Harris! Kumohon jangan pergi! KUMOHON JANGAN PERGI!!!" Sisil berteriak-teriak bagai orang kesetanan.

"Sil! Sisil!" Ibu Sisil buru-buru menuju kamar Sisil.

Harris yang tadi tengah asyik duduk di atas atap pun ikut turun melihat situasi.

Sementara yang lain dengan sigap menuju sumber suara tersebut.

"Sisil, Sisil! Bangun nak! Bangun! Kamu kenapa?! Sisil!" ibu Sisil menggoyangkan tubuh Sisil dengan panik.

"Sil! Sil! Bangun Sil! Bangun!" Harris tak kalah panik dari ibu Sisil.

"Aaaaa! Hah! Hah! Hah! Ibu! Harris!" Akhirnya Sisil bangun. Seketika, air matanya mengalir deras membasahi pipinya.

"Ibu ... Harris ... aku takut ... aku takut... Jangan tinggalkan aku Bu, Harris! AKU MOHON!" Sisil menangis dengan terisak. Dia pun memeluk ibunya.

"Sudah, Sudah Sil! Itu hanya mimpi. Hanya mimpi, Sayang. Jangan nangis." Ibu Sisil mengelap air mata Sisil.

Keringat Sisil membanjiri tubuhnya.

"Aku ambilkan minum, ya!" Harris melesat keluar dari kamar Sisil menuju dapur. Mukanya masih panik dengan berbagai pertanyaan.

"Apa yang diimpikannya? Kenapa dia memanggil nama ibunya dan juga NAMAKU? Jangan pergi? Apa maksudnya?" Harris mengisi gelas dengan air sampai melebihi batas. Seketika, firasat yang sudah lenyap itu kembali memenuhi pikirannya.

Dia kembali melesat ke kamar Sisil. Baru mau sampai di depan pintu kamar, ayah, ibu, dan adik-adiknya mencegatnya.

"Harris! Ada apa?" ayah Harris bertanya kepadanya.

"Sisil mimpi buruk, Dad." Harris masuk tanpa menghiraukan lagi pertanyaan selanjutnya. Ayah, ibu, dan adik-adik Harris pun ikut masuk memenuhi kamar Sisil.

Sisil masih menangis tersedu-sedu. Seakan hal yang serius terjadi padanya.

"Ini, Sil. Tenangkan diri dulu." Harris memberikan segelas air putih kepada Sisil.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang