Kitab Suci

692 78 10
                                    

Tiriring tiriring tiriring

Dering alarm berbunyi. 4.30 pagi. Seharusnya sudah adzan shubuh. Tapi Sisil tak mendengarnya di sini. Mungkin Sisil terlalu lelap. Terlalu lama di pesawat, membuat dia terlalu lama tidak memejamkan matanya.

"Jam segini? Hoaamm ... masih ngantuk banget. Aku tadi tidur berapa jam sih, kok serasa cuma sepuluh menit. Eh shalat! Air wudhu di mana, ya?"

Sisil bangun dari tempat tidurnya dan mencari air wudhu dengan muka bantal. Berjalan dengan sempoyongan. Lalu ditemukannya di dekat kamar mandi. Dilihatnya juga lelaki yang ditemuinya tadi malam.

"Hoaamm ... eh siapa itu? Loh, bukannya dia lelaki yang tadi malam ya. Aduh namanya siapa, sih? Harry? Harris? Ah, tujuanku hanya untuk ambil air wudhu. Bukan untuk mengingatnya. Nanti juga ingat sendiri."

Sisil berjalan mendekati air wudhu. Salah. Benar-benar keliru. Itu tempat wudhu lelaki. Bukan perempuan.

Saat hendak membuka kran, "eh, tunggu!" celetuk Harris.

"Apa? Kenapa?" tanya Sisil.

"Kamu mau ngapain di sini?" Harris bertanya balik.

"Kamu gak bisa lihat? Aku mau ambil air wudhu. Sama seperti yang kamu lakukan. Harr ...," ijar Sisil sambil mencoba mengingat-ingat namanya.

"Harris. Aku Harris. Kamu masih belum bisa juga mengingatnya? Aku aja masih ingat namamu, lho. Sisil, kan?" ucapnya, "iya aku tahu kamu akan ambil air wudhu. Karena ini emang tempat wudhu. Tapi apa kamu gak salah kesinip?"

"Lalu? Maksudnya apa? Ada yang salah?"

"Ha ha iya. Kamu samasekali gak salah, kok. Tapi sadar deh. Tuh, lihat tulisannya!"

Papan itu tertulis male only.

Apa? Tempat wudhu lelaki? Hanya untuk lelaki? Ah bagaimana mungkin aku bisa kemari? ucapnya dalam hati.

"Eh? Iya, ya ... mungkin karena aku ngantuk. Maaf," celetuk Sisil.

Sisil pergi begitu saja tanpa basa-basi lebih. Tanpa tersenyum. Hanya muka kantuk saja yang diperlihatkan. Merasa tidak penting, Sisil meninggalkan Harris.

"Dia aneh. Apa dia dari semalam gak tidur? Ah, lupakan. Sudah waktunya shalat," gumam Harris.

Setelah selesai wudhu, Harris pun menuju tempat ibadah. Disusul Sisil yang tidak menatap sedikitpun wajah Harris, langsung duduk menunggu yang lain. Tak lama, mereka pun datang. Keluarga ini sempurna lengkap. Ditambah Sisil dan ibunya.

"Harris, kamu yang jadi imam," kata ibu Harris.

"Okay Mom," jawab Harris sambil mengacungkan jempolnya.

Entah mengapa semenjak Sisil dan ibunya menginap, keluarga ini seolah bukan orang asing. Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan Sisil. Bahasa Indonesia.

Dua puluh menit berlalu. Shalat shubuh sudah ditunaikan beserta sedikit ceramah dari ayah Harris. Sisil hendak melangkah keluar, tapi dilihatnya Harris mengambil sebuah kitab suci. Langkah itu terhenti. Terdiam berdiri. Lalu duduk kembali. Ikut mengambil kitab suci dan membaca. Baru saja akan dibaca, Harris sudah mulai duluan. Tenteram. Suaranya merdu. Sisil tak bisa berbuat apa-apa kecuali termangu oleh Harris. Tiga puluh menit berlalu, Harris sudah selesai dengan kitab suci itu. Sementara Sisil, kitab suci yang dipegangnya masih terbuka di halaman yang sama. Membacanya pun tidak. Masih termangu. Mematung.

Dalam hati dia berkata, Ya Allah, ada apa dengan hati ini? Seolah aku tak bisa berbuat bahkan bercakap apapun karenanya. Dia. Lelaki bernama Harris ini, melafadzkannya dengan begitu indah. Membuat hati ini tenang. Dia tidak tinggal di negara mayoritas islam. Dia orang minoritas. Tapi kenapa dia justru sangat taat? Sebelumnya tidak ada yang membuatku terdiam seperti ini.

Entah mengapa dan bagaimana Sisil bisa mematung seperti itu. Sisil banyak melihat lelaki sepertinya. Lafadz yang indah dari suara lelaki yang merdu kerap didengarnya. Tapi Harris, entah mengapa terlihat berbeda.

"Hei Sisil! Udah selesai baca Al Qur'an? Kok kamu cuma diam? Aku gak dengar suaramu. Kamu baca dalam hati?" Orang yang dibatinnya pun datang menghampiri Sisil.

"Oh, kamu duluan aja." Selalu saja pendek jawaban Sisil yang kali ini samasekali tidak menjawab pertanyaan Harris. Toh, Harris juga tidak mempermasalahkannya. Harris keluar dari tempat ibadah meninggalkan Sisil sendiri. Masih terdiam.

"Ah kenapa aku ini? Bukannya itu udah biasa? Udah, lah. Lebih baik aku mikirin yang lain."

Sisil melangkah keluar. Meninggalkan tempat ibadah dan kitab suci itu tanpa dibacanya.


Edited on 8-2-16

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang