Masa Lalu itu Menyakitkan

651 73 11
                                    

Tak terasa, sudah satu minggu Sisil berada di London.

Kuliah? Universitas? Bagaimana? Di mana? Apa aku ngelanjutin di sini aja atau di Indonesia, ya? Tapi kan, aku harus nunggu selama dua tahun kalau di Indonesia, batin Sisil sembari mencari informasi seputar dunia perkuliahan.

"Hai! Lagi ngapain? kayanya serius banget. Boleh gabung?" Tiba-tiba Harris datang dan duduk di sebelah Sisil.

"Oh, boleh," jawab Sisil.

"Tumben gak baca novel. Biasanya aku lihat kamu selalu pacaran sama novel. Tapi kali ini selingkuh sama ponsel. Ha ha ha ...," canda Harris.

"Aku emang sukai novel. Tapi bukan berarti aku samasekali gak tertarik sama ponsel," jawab Sisil dengan muka datar.

"Hahaha aku kan cuma bercanda. Tapi kali ini kamu kelihatan serius banget. Lagi ngapain, sih?"

"Aku lagi cari informasi seputar universitas."

"Oh, jadi kamu mau masuk universitas tahun ini? Terus mau kuliah di sini?"

"Aku gak tahu. Tapi aku mau secepatnya masuk universitas. Aku gak betah jika terus-terusan nganggur di rumah kayak gini."

Harris hanya mengangguk dan tersenyum sambil membatin, Akhirnya dia mau berbicara yang lebih panjang dari biasanya.

"Oh iya, tadi kamu bilang gak betah? Gimana kalau kita keliling kota? Lumayan, lah, untuk hilangin bosan. Gimana?" ajak Harris.

"Hanya berdua?" tanya Sisil.

"Mmm... memangnya mau ngajak siapa lagi? Semuanya lagi sibuk, Sil."

Sisil menatap Harris dan berpikir, Kota? Berkeliling? Sama dia? Apa itu ide buruk? Mungkin kalau sebentar gak apa. Lagian aku bosan di sini terus.

"Hei! Jangan ngelamun! Gimana? Mau, gak?" tanya Harris memastikan.

"Mmm .. oke. Tapi jangan lama-lama, ya?"

"Okay!"

Sisil merapikan bajunya lalu keluar menuju halaman rumah. Sementara Harris, memang sudah sedari tadi menungguinya di halaman rumah.

"Kita jalan kaki aja, ya? Cuacanya lagi bagus. Gak papa, kan?" tanya Harris.

"Gak masalah kok," jawab Sisil.

Mereka pun berjalan menyusuri kota. Indah memang. Jalanan lengang. Banyak anak-anak, muda-mudi, suami-istri, kakek-nenek berjalan beriringan. Cuacanya pun bagus. Tidak salah Harris mengajaknya mengitari kota.

Mereka berjalan tanpa bicara. Dan sampai di taman. Terlihat kursi warna putih di sana. Tak ada orang yang mendudukinya.

"Sil, lihat deh! Ada kursi kosong di sebelah sana! Gimana kalau kita ke sana? Aku udah capek dari tadi jalan terus. He he he ...," kata Harris sambil menunjuk ke arah kursi berwarna putih dekat penjual es krim.

"Boleh," jawab Sisil singkat.

Mereka pun duduk di kursi itu. Hanya berdua. Menatap pemandangan taman. Melihat sebagian insan manusia menghabiskan waktu mereka di taman, bercakap-cakap, bersendau gurau. Banyak kebahagiaan yang terpancar di taman itu.

"Mmm ... es krim kayaknya enak. Mau?"

"Es krim? Ab, Aku lupa bawa uang. Kamu aja, aku gak usah."

"Ha ha masalah uang? Biar aku yang traktir. Mau rasa apa?"

"Beneran gak apa-apa? Coklat aja, deh."

"Coklat? Oke! Tunggu bentar, ya!"

Harris pun beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke penjual es krim yang berdekatan dengan kursi taman.

HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang