2

182 16 2
                                    

Istirahat sebentar seusai merapikan pakaian-pakaian ke lemari kosong kamar tersebut. Kamar tak terlalu luas dan tak terlalu kecil. Dan perabotan dalam kamar pun tak banyak. Hanya lemari, meja tulis, dua sepasang nakas, tempat tidur dan lampu meja dan lampu tidur.

Sejam adalah waktu untuk beristirahat cukup. Merin bukan anak gadis suka lelet waktu. Keutamaan dirinya kepada jadwal makan malam untuk hari ini.

Meregangkan otot sedikit, Merin beranjak dan masuk ke kamar mandi. Membersihkan tubuh yang penat. Menyegarkan pikiran supaya bisa jernih.

Selesai mandi, Merin merapikan tempat tidur seusai berpakaian pantas. Membuka, lalu menutup pintu, Merin turun ke lantai satu. Di sana, Ade sedang menonton tv.

"Kak De, ada makanan? Aku lapar," kata Merin mengusap perutnya.

Menoleh ke arah Merin, Ade cekikikan. "Baru saja Kakak membangunkanmu. Malah kau turun sendiri. Nggak ada makanan berarti nggak ada bahan. Kosong melompong di kulkas," jawabnya.

"Aku sudah rapi. Ayo, berangkat!"

Meneliti diam-diam apa yang dikenakan Merin, Ade menggeleng-geleng kepala. "Meskipun kau nggak tahu, tetap saja kau akan menyuruh Kakak pergi berbelanja?"

"Apanya aku nggak tahu? Mengenai bahan makanan katanya kosong atau habis, aku yakin awal bulan ini Kakak belum sempat beli. Makanya habis."

Beranjak, Ade mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Merin. "Adik Kakak cerdas banget, sih. Kelihatan banget ini tanggal berapa."

"Jangan diacak-acak! Sudah rapi, tahu! Kalau tadi sebelum mandi, boleh. Tapi sekarang, nggak boleh!" Merin menepis tangan Ade dan mendorongnya ke ujung tangga. "Naik ke atas! Mandi! Pakaian! Dan kita pergi!"

"Oke, oke, adik manis."

Kedipan ganjil seringkali didapatkan Merin. Hatinya kebat-kebit bila berhadapan dengan Ade. Serasa terbang melayang dan berharap kebersamaan mereka sampai akhir liburan semester Merin.

***

Swalayan merupakan pilihan tepat bagi Merin. Jarak itu dekat sekali dengan rumah Ade. Dan Merin merasakan efek lapar, cepat-cepat mencari bahan makanan bisa dimasak malam ini juga.

"Ini! Ini! Dan ini!" Merin meraih jeruk nipis, tomat, juga bawang putih dan bawang merah. Bawang bombay tak luput dari penglihatan. "Kak De cari daging, dong. Telur juga. Delapan belas butir. Jangan lupa, buah-buahan segar," ujar Merin tanpa mengalihkan dari memasukkan bahan pokok tersebut ke dalam kantung plastik.

Ade berada di samping Merin, mengikuti saran Merin. Mencari-cari sesuai catatan. Tergoda sembari mengkhayal, masakan apa paling cocok untuk isi perutnya.

Selesai menyerahkan dan mengambil beberapa kantung plastik dari kasir yang menimbang berapa gram bahan-bahan diraih Merin. Merin meletakkan ke keranjang belanjaan.

Menangkap sosok sedang memilah-milih, Merin menyusulnya. Betapa lancar Ade dalam memilih bahan-bahan. Untuk kali ini, buah-buahan.

Selama tinggal sendirian di rumah dibelinya di Jakarta, Ade sangat mandiri. Gaji sebagai manager di suatu gedung kantor membahas iklan, sangatlah cukup untuk kebutuhan sehari-hari juga kebutuhan lain-lain. Ade juga cermat dalam menggunakan keuangan. Tak pernah menghambur-hamburkan uang.

"Nah, sudah," ujar Ade sembari meletakkan hati-hati telur-telur dikantung plastik. "Sekarang ke mana lagi?"

"Beli mie sekardus. Cemilan. Susu untuk aku. Minyak goreng. Saus tomat, kesukaan aku."

"Hm, banyak maunya," ejek Ade.

"Terserah aku."

Ade terkikik.

***

Berapa lama kegiatan mereka, telah menempuh waktu. Siang masih memberi sinar matahari yang cerah, kini berwarna jingga. Itu yang dilihat Merin ketika mengintip dari pintu kaca bergeser otomatis.

"Sudah sore, Kak. Mesti cepat-cepat pulang."

"Sabar, Merin. Kita mesti bayar dulu," hibur Ade menenangkan.

Antrian tak begitu panjang, tetapi memakan waktu. Bagaimana tidak, barang-barang dibeli pengunjung sangat banyak. Mau tak mau, Merin tetap menunggu walaupun perutnya berbunyi.

"Ade!"

Tak mengacuhkan siapa memanggil kakaknya, Merin mengembuskan napas lega saat giliran mereka. Merin melajukan keranjang belanja dan mengambil barang-barang ke meja kasir.

Merasa aneh di sampingnya, Merin melirik. Tak ada keberadaan Ade. Merin mencari-cari. Di ujung sana, Merin menemukan Ade. Tak sendiri. Namun, dengan perempuan bahkan cantik melebihi apa pun.

Membiarkan barang-barangnya dihitung kasir, Merin menghampir Ade dan perempuan tak dikenal.

"Kak De, kita harus bayar," ujar Merin.

"Akh, Merin." Ade tak terlalu terkejut. "Kenalkan ini adik aku. Merin Cahaya. Panggilnya Merin." Kemudian Ade merangkul perempuan belum dikenal Merin. "Dan ini, Diza, pacar Kakak."

Tanah dipijak Merin hancur seketika.

Tbc

***

07 Juni 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang