10

143 11 5
                                    

Tak disangka-sangka seumur hidupnya, Merin ditampar begitu keras. Di hadapan seluruh pandang mata. Di setiap sudut banyak memerhatikannya. Ada yang iba, kasihan, jijik dan ... marah.

Ada rasa sakit menyergap dada Merin. Bahkan hatinya terlampau kosong karena seluruh tubuhnya jatuh dari langit tinggi. Dikira selama tiga minggu ini semua baik-baik saja. Tak ada Diza yang selalu di samping kakaknya. Akan tetapi, hari ini beda.

Ade menampar Merin saat gadis itu membentak Diza yang sempat mencium Ade di aula kantor. Cukup atas kesabaran Ade tak suka bentakan Merin kepada kekasihnya-akhir-akhir ini mereka berbaikan.

Peristiwa pengusiran itu, Ade berantakan luar biasa. Sapaan dan senyuman Merin tak bisa memberikan efek bagus. Malah cenderung parah. Itu juga dirasakan Diza. Semakin hari semakin pucat. Karena tak menahan perasaan gejolak itu, mereka pun berbaikan.

Hal itu tak direncanakan Merin saat penyergapan dimulai. Menemukan Ade berciuman dengan Diza. Dan itulah bikin Merin marah dan membentaknya. Hasilnya, Merin mendapat hadiah sebuah tamparan mengenaskan dari Ade.

***

"Kenapa kau keterlaluan sekali?! Apa salahnya kalau Kakak kembali bersama Diza?!" teriak Ade lantang.

Merin memandang kakaknya kosong, ada sedikit tak percaya. "Cuma aku nggak suka Kak De bersanding dengan Kak Diza, perempuan nggak tahu malu ini," kata Merin sangat merendahkan.

Mata Diza nanar. "Apa salahku, Merin? Kenapa kau seakan benci padaku? Aku kan, nggak pernah sakiti kau."

"Kau memang nggak sakiti aku. Tapi, kau rebut Kak De dari aku!" jeritnya mengundang tamu-tamu yang lain. Termasuk Eros dan Marina.

"Aku ini pacarnya Dede," kilah Diza mengungkapkan kenyataan.

"Tapi, aku ini adiknya Kak De juga!" jerit Merin lagi. "Sejak kau datang, Kak De bukan Kak De yang dulu lagi!"

Diza menggeleng frustrasi. Ade tak sungguh percaya bahwa adiknya berubah jadi orang lain.

"Cukup, Merin! Kau berubah! Apa salahnya Kakak punya pacar?! Kakak juga butuh sandaran. Kakak butuh dicintai. Kakak pula mesti mencintai. Kakak butuh pendamping, Merin!" tukas Ade.

"Hah? Aku berubah? Nggak salah, Kak?" Seraya menekan pipi yang panas, Merin bersuara kencang. "Justru Kak De yang berubah! Di mana Kak De selalu ada buat aku? Di mana Kak De di saat Mama dan Papa panggil Kakak pulang? Di mana Kak De selama tiga tahun terakhir ini? Di mana?!" teriaknya.

"Merin...." Eros siap melerai.

"Diam, Merin!" geram Ade. "Kakak sibuk, kau mengerti? Sibuuk!"

"Nggak mungkin! Pasti Kak De asyik pacaran sampai lupakan aku!" bantah Merin menggeleng.

Ade merasa limbung dan frustrasi. Untung ada Diza menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Hal ini membuat Merin kalap dan menepis tangan Diza.

"Jangan sentuh Kak De, perempuan gila!"

"Jangan sebut Diza gila, Merin! Kau yang gila!" ucap Ade keras seraya melindungi Diza dari amukan Merin.

Merasa terjatuh ke jurang lebih dalam, Merin terisak. "Kak De, aku sayang Kakak. Sangat sayang. Berharap Kakak menemukan perempuan baik...," Tatapannya bengis ke arah Diza, "... dan bukan dia!" tunjuknya marah.

"Merin, cukup!" bentak Ade. "Mulai sekarang kau pulang! Kemasi barang-barangmu! Dan jangan pernah ke sini lagi! Kakak muak lihat wajahmu! Malah Kakak harap kau nggak ada di sekitar Kakak lagi!"

"Ade!" teriak Eros dan Marina bersamaan.

Tetesan aliran bening tumpah ruah, mendengar pernyataan kakaknya. Ada kesakitan sangat merusak hati Merin. Entah kapan bisa disembuhkan lagi.

"Kak De ingin aku pulang? Nggak ke sini lagi? Nggak lihat kakak lagi? Dan mengharapkan nggak di sekitar Kakak?" tanya Merin bertubi-tubi.

Ade sedari tadi menunduk, mendongak dan menatap Merin yang menangis. Kepekaannya mati. Hanya ketidakpekaan dan kejengkelan dan kemarahan menguasai dirinya. Dia lebih memilih Diza, daripada adiknya sangat berlebihan menyayangi dia.

"Ya, aku ingin kau pulang. Nggak ke sini lagi. Nggak lihat aku lagi. Dan aku nggak mengharapkan kehadiranmu!" jawabnya menarik tangan Diza yang nyengir sinis, berlalu dari sana.

Penolakan itu lebih dari cukup. Dan kini, Merin merasa sudah saatnya melepas diri.

"Merin...," ucap Eros nanar.

Marina menangis, meraih tangan Merin. Namun, serasa memegang udara.

Merin berbalik sambil menghapus air mata. Dia tersenyum. Lebar. Itu sangat manis sekali.

"Dia nggak tahu apa-apa mengenai kondisiku, Kak. Selama tiga tahun karena sibuk, Papa dan Mama nggak mau merepotkan Kakak. Mereka nggak mau Kakak sedih. Jadinya, aku ... ke sini," ungkapnya. "Kakak-Kakak berdua bisa melihatku hari ini. Tapi selanjutnya, mungkin nggak bisa lagi."

"Merin...." Ingin sekali mendekap tubuh gadis di depannya. Namun, itu tak mungkin terjadi. Roda waktu telah berputar.

"Makasih, Kak Eros, Kak Marina." Senyum Merin lebar walaupun ada kesedihan. "Sampaikan salamku pada Kak Ello. Dan maafkan aku," ucapnya selanjutnya dia berlalu meninggalkan aula.

Eros dan Marina menangis dalam diam. Semua karyawan-karyawati terheran-heran. Apalagi suasana kian hening. Kembali normal. Seperti tak terjadi apa-apa.

Ya, karena roda waktu telah kembali ke masanya.

Tbc

***

14 Juli 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang