Berminggu-minggu Merin merencanakan secara matang. Pusat sumbernya adalah Diza. Pusat utama yang harus disingkirkan! Hanya itu di pikiran gadis masih berusia sembilan belas tahun.
Merin paling tak suka adanya keberadaan Diza di sekitar kakaknya. Kehadiran perempuan itu mampu menyingkirkan dan mengalihkan perhatian darinya. Jadi, selama itu pula, Merin bersusah payah mencegah dan menghindarkan Ade dari Diza.
Keinginannya kuat. Toh, Merin menyayangi Ade. Tak mau Ade tersakiti. Ade adalah malaikatnya. Seseorang selalu ada di saat dia kesepian. Yang selalu ada di saat dia menangis. Yang selalu ada ketika orangtuanya berpergian ke luar kota.
Maka dari itu, Merin siap kena getah apabila rencananya tak berhasil. Muka dua seperti Diza mesti dijauhi sangaaat jauh bisa saja jauh dari jagat raya.
Dan selama dua minggu berturut-turut dari hari ke hari, Merin melancarkan serangan. Tiada sebanding. Merin melakukannya secara licin dan halus. Tanpa kesadaran dan kepekaan Ade.
Selama itulah, Merin meminta tolong pada Eros untuk membantunya. Rencananya sangat disetujui Eros maupun Ello dan pacarnya, Marina. Kedatangan Merin ke kantor Ade pun karena ingin bertemu Eros dan mengerjai Diza.
Berhasil karena amarah Diza memuncak. Wanita itu malah mengadu ke Ade atas perbuatan Merin. Namun, gadis itu diam. Ada penolongnya merupakan sahabat kakaknya, Eros. Menutupi kejahatan dan keisengan Merin selama dua minggu itu.
Dan di situlah awal mula permasalahannya. Diza tak tinggal diam. Ada-ada saja idenya. Begitu licik. Memberitahu Ade dengan membongkar kesalahan-kesalahan Merin lewat rekaman sengaja disimpan diam-diam. Tentu saja Ade murka dan siap memarahi adiknya yang keterlaluan.
Diza tersenyum kemenangan. Meskipun awalnya dia kalah telak, mau tak mau, hasilnya dia yang menang.
***
Pintu terdobrak sangat kencang. Terbanting hingga memekakkan telinga juga mengagetkan Merin tengah berada di dapur. Merasa penasaran, Merin mematikan kompor dan langsung menuju sumber suara.
"Ah, Kak De? Kak De baru pulang?" Dahi Merin berkerut. "Kok, ada Kak Diza? Bukannya ini sudah malam, ya? Eh, maksudku sore," ralatnya.
Tak tahan lagi, Ade menarik tangan Merin keras. Merin mengernyit kesakitan. "Apa maumu dengan menyakiti Diza?!" bentaknya.
Terjungkal mundur. Namun, tangannya masih dicengkeram. Merin menautkan alis. "Maksudnya apa, Kak De?" Mata bulat Merin memandang Diza tersenyum sinis. Lalu, beralih kembali ke Ade. "Aku nggak lakukan apa-apa. Coba sebut apa saja kesalahanku."
Ade mendesis. "Bukan satu saja kesalahanmu. Tapi, banyak!"
"Banyak?" Merin mengangkat alis kemudian bertolak pinggang menggunakan satu tangan. "Sebutkan!" tantangnya.
"Kamu menjaili Diza dengan kurung dia di toilet. Lalu, kamu jambak dia sesuka hatimu!"
Merin memutar bola matanya. Jengah. Hebat banget seorang Diza memanipulasi fakta. Mengadu domba antara dirinya dan Ade. Jelas-jelas intinya bukan seperti itu.
Kejadian sebenarnya, Merin memang mencari tahu siapa saja orang-orang tak menyukai Diza. Ketika mendapat jawabannya, Merin meminta Marina memprovokasi. Sesuai fakta yang ada. Dan mengadukannya ke pelaku sementara. Akhirnya, jambak-jambakkan terjadi. Berikutnya, Diza dikurung di toilet. Itu pun istirahat siang.
"Kak De dapat dari mana info begituan?" Merin menantang Ade, mengangkat dagu. Percaya diri sangat tinggi. "Buktikan kalau aku memang bersalah."
"Aku bisa buktikan!" Diza melangkah maju. Ikut menantang. "Aku punya rekamannya."
Merin tak terkejut sama sekali. "Ooh, silakan kalau begitu."
Saat Diza membuka tasnya, dia terpana. Kemudian membongkar-bongkar lagi. Dia terpaku sesaat. Ada rasa tak percaya ketika matanya beradu pandang dengan Ade yang menunggu.
"Mana rekamannya?" pinta Ade.
Diza kikuk. Salah tingkah. Namun, gelisah. Bulir-bulir keringat dinginnya meluncur bebas. Bibir Diza terkatup rapat.
"Aku tanya, mana rekamannya?!" pinta Ade memerintah.
"Maaf, Dede, rekamannya nggak ada di tasku. Tiba-tiba saja hilang." Diza menunduk, takut menangkap tatapan tajam Ade. "Padahal aku menaruhnya dalam tas."
"Sembrono!" decak Ade.
Cengkeraman itu mengendur, Merin mengentaknya hingga Ade tersentak. Bekas tangan membuat Ade sedih. Apalagi mata Merin agak berkaca-kaca.
"Kalau Kak De ada niat marah sama aku atas kesalahanku, aku nggak pernah sekalipun sakiti Kak Diza!" teriak Merin lantang. "Dia saja yang banyak musuh! Asal Kak De tahu, selama aku ke kantor Kakak, aku hanya sering ketemu Kak Eros dan Kak Marina. Jadi, aku nggak macam-macam sama pacar Kak De atau Kakak. Toh, Kakak suruh aku jauhi Kakak!"
Ada rasa bersalah di hati Ade setiap kali menyaksikan kegembiraan Merin ketika bersama Eros dan Marina. Kebersamaan mereka sering terjadi di rumah, tak didapatkan di kantor. Mereka pun seperti menjaga jarak.
"Maafkan Kakak karena menyalahkanmu, Merin." Ade menarik Merin ke pelukannya. "Maafkan Kakak."
"Dede, adikmu itu sebenarnya keterlaluan!" adu Diza.
Ade spontan menoleh ke belakang. Menatapnya dingin. "Diam kau! Mending kau keluar sekarang! Nggak usah memfitnah adikku!"
"De...," ucap Diza lirih. Siap menangis.
"Pergi!"
Diza keluar dari rumah dengan isakan menjadi-jadi. Ade tak peduli racauan tangisnya. Malah Merin kelihatan bahagia. Ada senyum samar di balik dekapan sang kakak.
Tbc
***
14 Juli 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Roda Waktu ✔️
Short StoryIngin bersama dengan kakak paling disayang, Merin meminta kepada kedua orang tua supaya diizinkan tinggal di Jakarta. Tersenyum merekah, bisa melihat dan tinggal seatap dengan sang kakak. Namun, kehadiran orang baru di antara mereka membuat masalah...