11

157 12 10
                                        

Wanita setengah baya memegang bingkai foto. Di foto tersebut ada gadis manis tersenyum lebar sesuai khasnya. Dadanya terasa sakit ketika mengingat peristiwa menyakitkan itu. Kehilangan anak bungsu, merupakan anak perempuan satu-satunya.

Wanita itu mendekapnya dan mulai terisak. Ada sebuah lengan merengkuhnya dalam diam. Wanita itu bergeming. Hanya suara isakan dan denting jarum jam menunjukkan siang hari.

"Ma, nggak usah nangis." Pria setengah baya mengusap air mata sang istri. "Dia sudah tenang sekarang."

"Mama nggak bisa melupakan kenangan itu," ujarnya lirih.

"Nggak perlu dilupakan. Kenangan terbaik adalah kegembiraan. Kenangan terburuk adalah kesedihan," hibur suaminya. "Kebersamaan kita selama sembilan belas tahun dengannya itu lebih dari cukup. Justru kita masih bersyukur ada Ade bersama kita."

"Mama nggak tahu mesti bilang apa sama Ade, Pa." Wanita itu berbalik dan menghadap suaminya. "Tiga tahun nggak bertemu sapa dengannya. Kecelakaan kemarin pun, kita nggak sempat beritahu mengenai adiknya. Di telpon, dia sibuk. Sampai Mama dengar suara perempuan. Apa itu artinya, dia nggak peduli sama kita?"

"Entahlah, Ma. Biarkan waktu berjalan. Ada saatnya Ade pulang dan mengetahuinya," sahut suaminya.

Mereka kembali berpelukan erat. Mengeluarkan isak tangis, memendam kejadian dua bulan yang lalu.

***

Dering telepon mengejutkan Erina yang sedang menyiram bunga. Dodi sedang membaca koran, seperti hanyut dalam bacaannya. Sampai-sampai tak didengar menuju pendengaran.

Cepat-cepat Erina lekas menerima telepon. Ketika menyapa, suara di sambungan membuatnya tertegun. Perasaannya membuncah. Sekian lama dan ini tiga tahun enam bulan, anak sulungnya telah kembali.

"Tentu, Sayang. Mama dan Papa akan beres-beres kamarmu dan kamar tamu. Iya, Sayang, Mama dan Papa menanti kedatanganmu."

Erina memutus sambungan dengan menutup telepon. Hatinya bahagia. Senyum bermunculan di bibirnya. Dia langsung berlari menuju suaminya kemudian memeluk lehernya. Nyaris tercekik ketika Dodi kaget.

"Astaga, Sayang, ada apa denganmu?"

"Pa, Mama dapat kabar gembira!" seru Erina senang bukan kepalang.

"Kabar gembira apa, Ma?" tanya Dodi penasaran hingga korannya ditinggal begitu saja.

"Ade pulang, Pa!" jerit Erina bersorak layaknya anak kecil mendapat hadiah balon.

"Benar, Ma?" Dodi serasa tak percaya. "Kapan? Sama siapa?"

"Iih, Papa banyak tanyanya." Erina cemberut. "Besok, Pa. Besok hari Sabtu, kan? Dia bareng Eros, Ello, Marina dan Diza. Itu yang Mama tahu. Jadi, Mama mesti suruh Bik Iyem dan Pak Yanto merapikan semuanya. Mama nggak mau ada yang tersisa."

"Papa ikut saja, deh."

"Yeay, Ade pulang! Ade pulang!"

Sorak sorai istrinya begitu menggembirakan. Kesedihan karena tak ada celotehan dari seseorang selama lima bulan ini membuat rumah jadi sepi. Berharap semua baik-baik saja.

***

Deruman mobil menggetarkan hati Erina. Seakan bentuk itu tak nyata. Melangkah dengan perlahan, Erina menuju pintu dan membukanya. Erina sangat kenal suara mobil terkesan familier itu. Berarti Pak Yanto membawa mereka pulang dengan selamat.

Sosok itu turun dari mobil. Membantu seorang wanita yang tersenyum berterima kasih. Membiarkan dua sahabatnya keluar tanpa dibantu. Dan seorang wanita sangat dikenalnya.

"Eros! Ello! Marina!" seru Erina.

Erina kenal tiga orang selalu bareng dengan Merin. Sebelum peristiwa itu, Merin diajak jalan-jalan ke mana-mana oleh mereka. Dan mereka jugalah, menghadirkan Merin dalam bentuk orang lain. Walau hanya sementara.

"Tante!" Hanya Marina yang membalas seruan Erina. "Tante, aku kangen!" pekik Marina sembari memeluk Erina.

"Apa kabar, Tante?" Eros dan Ello mengecup punggung tangan Erina. "Tante makin cantik, deh."

Dehaman terlontar. Eros dan Ello terkekeh. Selama cuti kantor, ketiga orang ini senang menggoda Dodi. Selain Merin, tentunya.

"Enak saja goda-goda istri saya! Minggir kalian!" tegur Dodi, lalu merangkul Erina.

Marina tergelak atas kelakuan Dodi terkenal kekanakannya. Mirip Merin. Mengingat Merin, akankah Marina mengunjunginya?

"Bilang saja cemburu," ucap Eros membuat suasana makin memanas.

"Maaf, Oom. Nggak sengaja itu," bantah Ello menyikut rusuk Eros. "Jangan tambah runyam!" bisiknya.

Mata Erina tertuju pada dua sosok di belakang si kembar. Sosok paling dirindukan. Tak kuasa menahan haru, Erina menerobos si kembar dan berlanjut memeluk Ade.

Mereka berdua sama-sama menangis. Tiga tahun lima bulan itu lumayan lama. Bahkan, tak satu pun kabar dari anak sulungnya. Terutama kepindahan Ade ke rumah barunya.

"Mama rindu padamu," kata Erina terisak.

"Aku juga, Ma. Aku sangat rindu sama Mama...," Ade melirik Dodi melangkah ke arahnya. "... juga Papa." Pelukan mereka bertiga sangat erat, melepas kerinduan.

Suasana haru itu direkam jelas di mata ketiga sahabat Ade termasuk wanita tadi berada di samping Ade.

***

"Hm, siapa dia, Nak? Cantik sekali kayak bidadari," oceh Erina menatap wanita di sebelah Ade.

Ade dan wanita saling menggenggam tangan. "Namanya Diza, Ma, calon istri Ade."

Erina dan Dodi terkesiap. Entah mengapa kabar itu terdengar buruk di pendengaran orangtua Ade. Bahkan selidik penuh selidik, menurut pandangan keduanya, Diza adalah wanita tak baik. Kelihatan senyum dibuat-buat.

"Ooh," cuma itu jawabannya.

"Makanya kami ke sini untuk minta restu." Mata Ade melirik tangga menuju lantai dua. "Sekalian minta maaf sama Merin, Ma."

Lagi-lagi Erina dan Dodi terkesiap. Mereka saling pandang. Haruskah sekarang?

"Kenapa Merin nggak turun, Tante, Oom?" Kini, Diza yang bertanya. "Saya juga mau minta maaf sama Merin. Empat bulan laku, keadaan kami nggak enak."

"Ooh," Erina dan Dodi tak tahu mau jawab apa.

Ade bangkit berdiri. "Biar aku yang panggil. Biasanya kalau ada mobil datang, dia bergegas turun. Mungkin dia ngambek sama aku kali, ya," ocehnya sengaja bercanda.

"Aku ikut, Dede."

Dua orang itu pergi menuju tangga. Kedua orangtua Ade dibiarkan sendiri bersama ketiga lainnya. Mereka saling pandang tanpa berkata. Hanya Marina yang bersuara.

"Roda waktunya dibuat saat dia masih hidup sedia kala. Tapi, semua rusak ketika Ade nggak mau lihat dia lagi." Marina tertunduk, meneteskan air mata. "Akhirnya roda waktu menuju arah sebenarnya. Normal kembali. Kami nggak bisa berbuat apa-apa."

Berarti lilin pun mati otomatis.

Tbc

***

15 Juli 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang