7

116 9 1
                                    

Hari Senin, hari paling dinantikan buat bekerja. Namun, ketika Ade bersiap-siap berangkat, deruman mobil terdengar dari depan pagar rumah. Saat beranjak ke jendela untuk mengintip, adiknya lebih mendahului.

"Biar aku! Biar aku saja, Kak De!"

Ade tak mau ambil pusing, memutuskan sarapan. Mood-nya kali ini sangat baik, apalagi sejak semalam, Ade lebih banyak ceria daripada mengingat janjinya akan Diza.

Sementara Merin, sedang mengintip buat berjaga-jaga di jendela tersibak gordennya. Mata Merin membulat saat memerhatikan perempuan cantik membuka pagar rumah. Sontak Merin berbalik dan menggerutu.

"Duh, sialan! Ngapain dia ke sini? Pagi-pagi, lagi."

Lagi-lagi Merin mengecek dari balik jendela supaya Merin bisa mengantisipasi. Setelah perempuan cantik diketahui sebagai kekasih kakaknya, Merin lekas membuka pintu.

"Eh, ada Kak Diza." Merin tersenyum. Terpaksa! "Mau ketemu Kak De?"

"Ya iyalah," decak Diza mengibas rambut. "Kau nggak boleh halangi aku buat ketemu Ade. Tadi malam pasti kau telah membuat Ade batal kencan denganku."

"Iih, siapa." Merin berkilah. "Tadi malam ada Kak Eros, Kak Ello dan Kak Marina datang ke rumah. Jadi, bukan aku batalkan kencan Kak Diza dengan Kak De."

"Kau itu, ya—"

"Ada apa ini ribut-ribut?" Ade mendengar seruan di depan rumahnya bergegas mencari tahu. Kaget seketika melihat Diza, kekasihnya, berada di depan rumah. "Diza, kau di sini?"

Cepat-cepat, Diza menyerbu Ade dan menggelayut manja di lengannya. "Kita bareng ke tempat kerja ya, Sayang. Menggantikan kencan kita yang tertunda."

Ade menepuk kening saat melupakan kencan mereka tadi malam. Ade tersenyum manis bahkan senang melihat kehadiran Diza tanpa menghiraukan Merin yang cemberut.

"Boleh, boleh. Aku juga sudah sarapan. Kalau kau, sudah sarapan, belum?" tanya Ade, berharap kekasihnya makan nutrisi baik di pagi hari. Takutnya menyusahkan saat di sampingnya.

"Aku bahkan sarapan sebelum ke sini." Diza tersenyum dan menarik tangan Ade. "Yuk, Sayang, nanti kita telat."

"Oke."

Merin yang tak berkata-kata, langsung berkaca-kaca. Sakit hati menyaksikan kakak tersayang lebih memilih Diza yang mengedip kemenangan ke arahnya. Tak tanggung-tanggung lagi, Merin menutup pintu dengan sekali bantingan.

***

Di siang hari, Merin menyiapkan kotak bekal untuk persiapan bertemu Kak Eros di tempat kerja yang sama dengan Ade. Tak mau menunggu lama, apalagi jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Merin memelesat pergi.

Sesampai di kantor di mana Eros dan Ade bekerja, Merin berdiri di depan meja resepsionis demi menunggu Eros. Setelah melihat batang hidung Eros, Merin cepat mendekatinya.

"Kak Eros!"

"Ya ampun, Merin, nggak usah repot-repot bawakan bekal." Eros tersenyum semringah. "Padahal tadi mau ajak Marina, juga."

"Bareng saja, Kak," ujar Merin senang.

Eros bahagia melihat tingkah laku Merin. "Mau bertemu Ade dulu?"

"Boleh?" Mata Merin berbinar saat Eros mengangguk sekali. "Asyiik! Ayo, Kak, antarkan aku!"

Eros menggamit tangan Merin menuju kantin berada di lantai dasar. Tempat yang dipenuhi banyak orang. Di sana, ada Marina yang melimbaikan tangan. Merin melaju. Namun, tak sempat waspada, Merin tergelincir kemudian jatuh.

"Aduuh," ringisnya mencium lantai kantin.

Penghuni kantin tertawa terbahak atas kejatuhan Merin yang membuat dirinya malu dan siap menangis. Ketika mendongak, Merin menemukan Diza bersama sekawanan rekan kerja sesama perempuan, bersedekap.

"Wah, wah, ada anak nggak punya malu datang ke sini," sindir Diza.

Rekan-rekan kerja terdiri tiga orang bingung pada Diza berbicara dengan orang asing. "Kau kenal dengannya, Diz?"

"Cuma gadis yang suka halang-halangi aku ketemu Ade," sahut Diza sinis.

"Ooh, jadi dia merayu Ade. Begitu?" Itu yang disimpulkan ketiga orang, teman Diza, secara manggut-manggut.

"E-enggak!" Merasakan kakinya terkilir, Merin berusaha bangun. "Aku ini adiknya Kak Ade. Jangan ambil kesimpulan kalau aku merayu Kak De!"

"Adiknya Ade? Jelek begini?"

"Iya, aku adiknya kak Ade!" Merin menunduk dan menatap bekalnya berserakan. Mukanya memerah dan ubun-ubunnya mengeluarkan asap. "Gantikan bekalku! Kau sudah merusak bekalku!"

"Enak saja." Diza mengibas rambut. "Kau jatuh sendiri malah suruh aku yang gantikan."

Teman-teman sejawatnya tergelak. Merin tak mau kalah.

"Kau yang menyandungku!" tuduhnya.

"Di mana buktinya?" Diza menyeringai sinis.

"Kau nggak suka padaku!"

Diza mengangkat bahu. Amarah menggumpal dan siap menampar Diza yang menutup mata. Saat Merin nyaris menyentuh pipi seputih susu, lengan Merin terhenti di udara.

Bertanya-tanya siapa yang menghentikannya, Merin menoleh. Terkejut menatap Ade yang memandangnya garang.

"Belum sebulan, kau sudah buat masalah," desis Ade. "Lalu, ngapain datang ke sini. Kakak nggak suruh kamu datang, kan?"

"Kak De ... aku...."

"Lebih baik kau pulang. Buat bekalmu, nggak usah meminta Diza menggantikannya." Ade menghempas tangan Merin dan merangkul Diza. "Kau nggak apa-apa, Sayang?"

"Aku nggak apa-apa." Senyum Diza sangat memuakkan di mata Merin.

Merin tak tahan lagi, berbalik badan. Hatinya teriris karena tak dipercaya.

Tbc

***

12 Juli 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang