Ade susah tidur. Siapa tak bisa tidur, coba? Kalau adik satu-satunya malah menginap di rumah dua sahabatnya merupakan saudara kembar itu. Betapa sakit hati dan jengkelnya hari ini.
Berbahagia bersama kekasih, tak pula memberi kesenangan saat pulang ke rumah. Adiknya marah-marah akibat ulahnya sendiri. Dan dia tak tahu bagaimana cara membujuk adiknya untuk pulang.
Pagi-pagi, Ade bersiap-siap menuju rumah sahabat sekaligus tetangganya. Berjarak tiga rumah, itu pun tak terlalu jauh. Berbekal keberanian dan ucapan maaf, Ade siap menghadapi Merin.
Sesampainya di pintu gerbang, Ade membukanya. Tak terkunci, artinya antara salah satu penghuni sedang olahraga pagi, sisanya masih ada di rumah. Ade meneguk ludah kasar, berharap kedatangannya diinginkan.
Ketukan pintu setelah mengamati sekeliling. Minat untuk menggedor tak luput dari kemunculan tetangga-tetangga lain bisa saja berhamburan keluar gara-gara perbuatan Ade. Mau bagaimana lagi, adiknya disekap dan menginap di sini.
Pintu terbuka, Ello berdiri sambil mengenakan celemek. "Ah, kau. Sedari kemarin ditunggu, nggak datang-datang. Sekarang baru muncul."
Ade berdecak. "Katanya, kau suruh aku datang pagi ini. Kenapa malah sewot?"
Ello menghela napas. "Aku bukannya sewot, kalau bukan adikmu menangis sepanjang malam."
Ade tertegun. "Merin menangis? Karena apa?"
"Tutup pintunya dulu," perintahnya langsung dituruti Ade. "Kau bohong," ungkapnya mengenai alasannya.
"Aku? Bohong? Soal apa?"
Ello serasa ingin menjitak kepala Ade yang tulalit. "Kau bohonglah. Kau bilang sama Merin, kalau kau pergi ke kondangan sama pacar kau itu! Nyatanya kau malah kencan dengan pacarmu sedangkan adikmu memasak makanan khusus untukmu. Nggak pernah terpikirkan olehmu? He?!"
Batu menggelinding dan jatuh mengenai kepala pun dengan bahunya, Ade terguncang. Kini, Ade mengetahui penyebab mengapa adiknya, Merin, melampiaskan kemarahan dan meninggalkannya sendirian di rumah.
"Di mana Merin?"
"Ada. Dia di atas bareng Marina. Eros sedang olahraga pagi. Dan kau, nggak mau bertemu Eros kan?" Melihat Ade mengerut kening, Ello pun meringis. "Panggil Eros, padahal waktunya kurang baik, ya," sindir Ello melenggang pergi.
Ade mengembuskan napas, menghilangkan gelisah. Lalu, melanjutkan sepasang kakinya menuju lantai dua.
***
Merin menangis tersedu-sedu di pangkuan Marina. Hatinya remuk kala kakaknya membohongi dirinya. Seharusnya tadi malam adalah malam spesial buat mereka. Tetapi, acara itu berantakan timbulnya kemunculan kekasih sang kakak.
Pintu terbuka perlahan. Marina sontak mengangkat, kemudian terperangah melihat kakak dari Merin berdiri membatu. Sepertinya terlalu kaget menyaksikan adiknya menangis. Sendu sedan.
"Boleh aku masuk?" tanya Ade membuat badan Merin tegak.
Merin memicing tajam dan sinis pada kakak. Membuang muka seolah sosok Ade tak pernah ada di sini. Merin tak mau sakit hati terlalu banyak. Pedih banget.
"Marina, bisa nggak kau keluar dulu? Aku mesti bicara dengan Merin," tawar Ade disetujui enggan oleh Marina.
Usai Marina menutup pintu, Ade menghampiri Merin. "Maafkan Kakak. Kakak nggak tahu harus bagaimana lagi supaya kau bisa memaafkan kakak."
Merin terdiam.
Ade menyentuh pelipisnya, agak pusing. "Oke, Kakak salah karena nggak ikut acara penyambutanmu. Kakak juga nggak sangka, Diza bilang pesta pernikahan Adam tadi malam, padahal nggak ada pesta. Jadinya, Kakak—"
"Nggak usah bahas, lagi!" ketus Merin menghadap Ade. "Baru kali Kak De bohong padaku. Biasanya Kak De nggak pernah bohong. Terus, Kak De nggak bilang apa-apa soal kepergian Kak De dengan Kak Diz-Diz itu!"
"Namanya Diza, Merin."
"Terserah aku, dong." Merin mendelik tajam, melahap Ade yang terkejut. "Pokoknya, selama aku di sini, Kak De nggak boleh bertemu Kak Diz-Diz. Jika melakukan, aku nggak segan-segan benci Kak De. Selamanya!"
"Kau nggak boleh begitu, Merin," protes Ade. "Diza itu kekasih Kakak. Belahan jiwa Kakak. Juga calon isteri Kakak."
"Aaargh!" jerit Merin. "Enggak ya, enggak! Nggak ada namanya ketemu-ketemu. Besok sampai aku pulang, Kak De tetap dalam pengawasanku! Titik!"
Perintah dan ancaman tak boleh diganggu gugat.
Tbc
***
18 Juni 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Roda Waktu ✔️
Short StoryIngin bersama dengan kakak paling disayang, Merin meminta kepada kedua orang tua supaya diizinkan tinggal di Jakarta. Tersenyum merekah, bisa melihat dan tinggal seatap dengan sang kakak. Namun, kehadiran orang baru di antara mereka membuat masalah...