8

119 9 2
                                    

Eros sedang memesan minuman dan meninggalkan Merin menuju arah Marina, kaget tak mendapati sosok adik sahabatnya. Hanya ada Marina bertampang sedih. Bergegas, Eros menghampirinya.

"Ke mana Merin?" tanyanya.

Marina menahan tangis, mendongak dan menatap Eros. "Tadi aku nggak apa yang terjadi. Tiba-tiba saja, Merin terpeleset. Lalu, dia bertengkar dengan Diza untuk bertanggung jawab sekaligus menuduhnya. Kemudian Merin marah dan mengangkat tangan, kayaknya mau tampar Diza. Terus, ada Ade menangkap tangan Merin. Dan menyurun Merin pulang. Itu saja yang aku saksikan."

"Tanpa kau bantu?" dengkus Eros bertanya, menahan jengkel. "Kau sebut apa Merin selama ini?"

"Sebelumnya aku ingin bantu Merin, tapi aku didahului oleh Ade dan dua rekan kerjanya." Marina menunduk. "Awalnya, aku kira baik-baik saja. Namun, aku nggak sangka, Ade berbuat seperti itu." Marina menutup muka, kesal pada dirinya sendiri.

"Ade!" geram Eros mengepal tangan.

Tak mau menunggu lama, Eros menyusul Merin. Takut-takut terjadi apa-apa. Merin dianggapnya sebagai adik perempuan.

***

Merin mengusap air mata yang berlinang. Tertatih-tatih melangkah menuju halte terdekat. Dia lupa meraih bekal yang hancur di lantai. Hatinya remuk karena keputusan Ade sedemikian berubah.

"Kak De jahat banget," desisnya kesal. "Buat apa aku ke sini kalau akhirnya bertengkar? Nggak guna banget."

Sesampai di halte, Merin mendudukkan dirinya dan mengistirahatkan kakinya yang membengkak. Mengingat kejadian tadi, Merin siap membalas semua perbuatan Diza.

"Wanita itu nggak boleh dapatkan perhatian Kak De." Merin menunduk seraya bergumam. "Awas saja, dia masuk ke dalam teritoriku. Dia akan dapat ganjarannya."

Daripada menunggu bus sekian lama, Merin memesan gojek via ponsel. Supaya Merin tak perlu berdesak-desakan.

***

Berjam-jam Merin menunggu kepulangan Ade sepertinya belum pulang meskipun waktu sudah menunjukkan sore. Tadi, Eros datang dan khawatir akan Merin, menjenguknya. Takut ada apa-apa.

Untung Merin menyela bahwa dirinya baik-baik saja. Meskipun kakinya sedikit membengkak karena tersandung kaki Diza.

Saat deru mobil terdengar dan pagar terbuka, Merin hendak beranjak. Meringis sakit saat kakinya susah digerakkan. Mau tak mau, Merin abaikan. Yang diinginkan Merin, harus bertemu Ade.

Namun rupanya, kepulangan Ade tak sendiri. Melainkan ada Diza yang bergelayut manja di lengan Ade. Merin kalap seraya membuka pintu lebar-lebar.

"Buat apa dia ke sini?"

Tersentak kaget, Ade dan Diza melompat. Kejutan berupa sosok tak diinginkan Diza, tepat dihadapan mereka. Merin bertolak pinggang sambil memasang wajah murka.

"Ngapain Kak De ajak-ajak wanita jelek ini?" sindir Merin tajam.

Ade memijat kening. Pusing atas ulah adiknya dalam sehari. "Merin, kau bukannya sadar atas salahmu, kau malah marah-marah. Termasuk pada Diza."

"Aku nggak suka kedatangan dia ke rumah." Merin merajuk. "Lihat, Kak, kakiku bengkak karena dia sandung aku. Kakiku terkilir dan aku nggak tahu RS terdekat. Kak De mesti bawa aku ke sana!" rengeknya menarik tangan Ade maju-mundur.

"Kakimu sakit? Bagaimana bisa?" Ade terperangah, berjongkok dan mengintip kaki Merin lumayan bengkak. "Ya sudah, kita ke Rumah Sakit. Kakak takut kamu kenapa-kenapa."

"Lho, bagaimana dengan aku?" Diza tak suka perbuatan licik Merin membawa-bawa sakitnya agar perhatian Ade beralih darinya. "Kau nggak biarkan aku naik taksi sendirian? Katanya kau bakalan buatkan aku makan malam istimewa di rumahmu?"

Istimewa kepalamu! dengkus Merin dalam hati.

Ade bangkit dan memelas. "Maaf, Diza, adikku butuh pertolonganku. Dia nggak punya siapa-siapa di sini. Jadi, aku mesti bertanggung jawab."

"Kau kan, bisa suruh Eros atau Ello jemput dia dan antar ke Rumah Sakit. Kenapa malah kau?" geram Diza sangat marah.

"Tolong, mengertilah, Diza."

Merin membawa kunci rumah, menarik lengan Ade. "Kak De, kakiku makin sakit. Ayo, Kak. Atau aku telepon orang tua kita kalau Kakak batal membawaku."

Takut pada kemarahan orang tua karena tak menjaga adik semata wayang, Ade meninggalkan Diza dan meraih Merin ke gendongan. Masuk ke mobil. Saat Ade membuka pagar, Merin tersenyum manis dengan kelicikannya.

"Tolong tutup pagarnya kalau mau pulang ya, Kak Diza!"

Sembari menyaksikan mobil Ade menghilang dari pandangan mata, Diza mengentak-entak kaki kesal. Kali ini, total permainan mereka berselisih satu sama.

"Dasar menjengkelkan!" gerutu Diza. "Lihat saja nanti pembalasanku, Merin!"

Tbc

***

12 Juli 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang