6

122 10 4
                                        

Sekembalinya dari rumah Ello, Ade membawa Merin pulang ke rumahnya. Untung tak ketemu Eros. Bisa jadi melayangnya tinjuan ke muka Ade. Besok pasti tak kerja. Menyembuhkan luka-luka belum kering. Tak mungkin menyuruh Diza, kekasihnya, mengobati dia sementara Merin menolak kehadiran Diza.

Merin tak ingin memasak di hari Minggu. Merin memilih masuk kamar. Capek marah-marah membuatnya kelelahan. Merin tak ambil pusing memikirkan bagaimana bila Diza muncul di hari pusing dan tenang ini.

Ade melirik Merin naik ke atas, mengembuskan napas letih. Capek membujuk Merin menerima Diza. Lagi pula pertemuan mereka baru kali pertama, yaitu hari Sabtu kemarin di Swalayan. Bagaimana bisa, Merin sebegitu tak suka adanya Diza di sekitar Ade?

Membentur dirinya di sofa, Ade menenangkan dirinya. Dadanya terasa bergetar. Ade mengecek di sekitar dada, kantung seragamnya. Ponsel miliknya bergetar tanpa suara. Sengaja, alasannya demi menuntaskan masalah dengan Merin.

"Halo?"

"Sayang, jadi kan, hari ini kita jalan?" tanya orang di seberang sana membuat Ade menegang. Astaga, Diza!

Mengamati tangga dan ujung lantai dua, berharap tak ada sosok Merin memergoki dia. Buru-buru Ade meninggalkan ruang tadi dia duduk dan masuk dapur.

"Harus sekarang, ya?" sahut Ade membalik pertanyaan lain.

"Kita kan, sudah janji kemarin. Memangnya ada apa? Ada adik kamu? Kan, kau bisa bilang punya urusan mendadak kayak kemarin," gerutu Diza.

"Tapi, aku nggak bisa, Diz. Merin baru datang kemarin dan aku belum punya waktu bersama dia. Besok, Senin. Aku mesti kerja dan pulang sore nyaris malamlah. Nggak mungkin dong, waktuku terbuang percuma?" Ade merasa ada kesalahan.

Diza mendesis di jalur sana. "Biasanya kau nggak sebegitunya. Ada atau nggaknya adikmu, kau sering jalan bareng sama aku. Misalnya, kemarin."

"Itu?" Ade mengingat kecerobohannya. "Aku salah jadwal. Kau bilang acara Adam itu kemarin, nyatanya minggu depan. Kau membodoh-bodohi aku, Sayang. Makanya, Merin marah sama aku."

"Kau keterlaluan, De." Diza terisak. Ade meringis. "Jika kau nggak menepati janjimu, kita putus saja!"

"Eh, eh. Jangan, Sayang," tolak Ade takut terhadap ancaman Diza. "Jangan pikirkan itu. Baiklah, sepuluh menit aku jemput kau. Kita kencan! Terserah kau mau ke mana."

"Makasih, Sayang. Aku cinta padamu. Muaach!"

Telepon itu terputus. Ade menghela napas jengah. Memilih masuk kamar dan berganti baju.

Tak terkira, Merin memperhatikan aksi Ade sedang menelepon. Cemberut dan kesal. Lagi-lagi keinginan di hari ini berantakan gara-gara Diza.

"Awas kau, Diz-Diz. Aku, Merin, akan menjauhkan kau dari Kak De!" ujar Merin tegas.

***

Ade telah merapikan diri. Wajahnya terkesan ganteng, badannya wangi dan jalannya benar-benar jantan. Merin sangat yakin, bila jadi isteri Kak De, betapa hebatnya berdampingan dengan kakaknya itu.

Tetapi, nggak termasuk si Diza, kata Merin dalam hatinya.

Sengaja Merin tak mengadang Ade. Bukan saatnya melakukan itu, tetapi bel berbunyi adalah kepuasan batinnya karena acara akan dimulai.

"Kejutaaan!"

Ello dan Marina menebarkan semprotan mengenai pakaian Ade. Eros yang berada di belakang, mengernyit jijik. Baunya bikin menyengat hidung.

"Astaga, bau banget. Kau bikin semprot apa sih, El?" gerutu Eros menutup hidung.

Ello terbahak. "Aku nggak sengaja kasih terasi ke dalamnya. Juga kotoran ayam. Biar terlihat keren."

"Syukur aku nggak kena, Er!" Marina jengkel ketika menyemprot benda itu ke muka Ade. "Maaf ya, De."

"Duuh, seragamku." Ade berdecak, kini gagal sudah berkencan dengan Diza. "Lantas, kalian mau apa ke sini?"

Ello mengulum senyum memandang seragam rapi Ade, mendongak. "Kemarin kau nggak hadir, jadi hari ini kami gantikan acara penyambutan yang gagal. Jadi, kau nggak boleh ke mana-mana."

Ello dan Eros menarik Ade masuk rumah. Marina menyusul dan mengedip mata ke arah Merin.

Tbc

***

18 Juni 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang