4

128 13 0
                                    

"Makanannya enak, kan?"

Eros menguyah masakan Merin. Enak banget dan itu bikin dirinya senang karena tadi sore dia belum makan. Masakan Merin memang sangat enak. Lezat sekali.

"Lezat sekali. Sempurna!"

"Nah, kan." Merin bahagia. "Seharusnya Kak De makan ini. Bukan kelayapan ke kondangan temannya. Buat apa ke sana kalau cuma kencan doang."

"Kondangan? Siapa yang menikah?"

Merin sibuk berpikir. "Kalau nggak salah, tadi Kak Diza sebut nama Adam. Menikah, katanya hari ini."

Hampir menyembur separuh makanan yang bersarang di mulutnya. Terbelalak kaget. "Diza? Pacar Ade?" Eros tadi mendengar nama seseorang. "Adam kan, menikah minggu depan. Belum nikah sekarang. Ya ampun, Ade kalau berurusan dengan Diza benar-benar kurang kerjaan. Membohongi adik sen—ups! Lupakan saja!"

Eros betul-betul keterlaluan, mengungkap kejailan Ade dan Diza sengaja mengatasnamakan Adam demi membohongi Merin. Lihatlah, Merin melotot siap menghancurkan siapa saja. Bibirnya saja mengatup rapat-rapat. Jelas siap menyembur marah.

"Kak De bohong sama aku?! Penyebabnya Diza-Diza itu?!" Merin bercucuran air mata. "Kak De jahat amat. Masa karena pacarnya, Kak De bohong sama aku! Aku benci Kak De!"

Eros susah payah menenangkan Merin yang menangis. Bunyi bel berdering kencang. Jam sekarang belum menunjukkan Ade pulang. Pasti pikirannya tertuju pada sosok laki-laki tadi dipanggilnya demi menemani Merin.

"Pokoknya aku mau pulang! Aku nggak mau tinggal di sini!" jeritnya histeris.

"Tunggu sebentar ya, Kakak buka pintunya dulu." Eros siap beranjak, tetapi teriakan Merin sebagai peringatan untuknya.

"Jangan lama-lama. Aku benci sama orang pembohong!"

Menghampiri pintu dan membukanya. Sahabat satu itu bikin dirinya mengembuskan napas bahagia. "Ya Tuhan, Ello dan Marina. Syukur kalian datang. Merin menangis karena dibohongi Ade. Bagaimana, dong?"

Marina merupakan perempuan sangat mengenal Merin, menerobos masuk. Ello dan Eros di belakangnya senang bukan kepalang, ada pawang Merin selain Ade. Ah, lupakan Ade itu. Hari ini, perayaan kedatangan Merin mesti dilaksanakan dengan meriah.

"Kak Marina, Kak De jahat banget! Masa pilih si cewek sok itu daripada aku! Bohong, lagi!" rengeknya mati-matian.

"Sabar ya." Marina setia menenangkan Merin yang dianggapnya adik sendiri. "Kami bawa sekotak pizza untukmu dari aku dan Ello. Dan jagung bakar kesukaan Merin."

Merin menghapus air mata itu dan berlari menuju dua kembar sedang duduk membuka kotak pizza. "Pizza aku mana, Kak El? Nggak dimakan, kan? Kak Eros nggak usah ya, sudah makan tadi. Dibabat semua sebelum aku habiskan."

"Yee, buat apa diumbar, sih?" gerutu Eros mengerucutkan bibir.

Ello, kembaran Eros, mengacak-acak rambut Merin. "Nggak nangis, lagi?"

"Enggak."

Suapan demi suapan dilakukannya. Melupakan kebohongan Ade. Tak sanggup mengingat lagi. Keberuntungan Merin berkat kedatangan dua kembar dan kekasih Ello, Marina. Betapa indahnya dunia.

***

"Kakak pulang."

Kunci serep berhasil ditemukan di kantung celananya. Sebenarnya berniat membunyikan bel, tetapi telanjur tengah malam, Ade tak ingin membangunkan Merin. Apalagi kesalahan terjadi di hari pertama kedatangan Merin. Bukan merayakan, malah membohongi.

Lampu teras masih menyala. Itu berarti Merin sudah tidur nyenyak. Ada kunjungan ke kamar Merin sebagai permohonan maaf. Entah mengapa perasaannya sungguh tak enak.

"Merin, kakak pulang, lho. Nggak disambut?" katanya mendekati ranjang Merin. Gelap sekali. "Kakak nyalakan lampu dulu, ya?"

Terang menerangi ruangan. Kosong di ranjang tersebut. Tak ada sosok sering tidur di sini. Mengitari sudut ruangan, Ade merasakan kegilaan tak kasat mata. Membawa kekhawatiran.

"Merin, kau di mana?"

Deringan telepon berbunyi di saku celananya. Ade membuka dan terbeliak. Termangu memandang pesan dari sahabat merupakan tetangganya itu.

Adikmu bersama dengan kami. Dia, katanya, nggak mau tinggal bareng dengan si tukang bohong. Bukannya dirayakan, kamu lebih mementingkan si cewek menor Diza-Diza.

Eros

Dia memang sengaja menyuruh Eros ke rumahnya. Tetapi, bukan begini caranya. Sebelum Ade keluar kamar, deringan ponsel kembali bergetar. Pesan masuk lagi. Kali ini dari si kembaran Eros.

Jangan ke sini. Besok saja. Kasihan adikmu, nangis-nangis ingin pulang.

Ello

"Apa-apaan ini?"

Singkat, padat dan jelas. Artian sebenarnya Merin tidak ingin dijemput atau bertemu dengannya.

Betapa sakit hatinya.

Tbc

***

11 Juni 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang