Ade menuju kamar adik satu-satunya di lantai dua. Entah karena apa, alasan Ade pulang teringat akan perkataannya kepada Merin. Itulah mengapa, Ade berniat pulang sekalian mengajak Diza—meski Diza menolak.
Canggung, itu dirasakannya saat berdiri tepat di depan pintu. Pernak-pernik cantik tertempel manis di dinding pintu, menjelaskan betapa lucunya adik kecilnya. Memerlihatkan Ade yang tersenyum tipis.
"Sayang, apa nggak sebaiknya kita tunggu dia turun?" Diza langsung tak enak. "Aku takut dia bakalan marah lagi sama aku," ujarnya manyun.
Ade menggeleng. "Enggak, kok. Aku yakin, Merin nggak akan marah lagi. Ini kan, sudah terlalu lama. Dan kejadiannya pun, mungkin Merin nggak ingat. Tapi, akan aku pastikan Merin memaafkan kita," hiburnya membelai rambut panjang Diza yang tergerai.
"Ya, deh." Diza menurut.
Mendapatkan kekuatan, akhirnya Ade meraih handel. Mendorong pintu tersebut. Bau harum sangat khas tercium memasuki penciumannya. Khas Merin banget.
Namun, penciuman Ade beda dengan penglihatan dia. Kini, bukan warna-warni cerah tersemat di kamar itu. Kini, kamar itu kosong tak berpenghuni. Seperti tak ada siapa pun di kamar ini.
Kecuali, aksesoris dan coret-coretan tertempel di dinding. Sekilas menandaskan bahwa kamar ini dahulu ada pemiliknya.
"Kok, kosong?" tanya Diza mengedar pandangan. "Tapi, masih harum baunya." Diza menatap Ade. "Apa dia pindah kamar—lho, Sayang?! Mau ke mana?"
Seketika Ade berbalik badan, melaju dengan kecepatan tinggi. Membiarkan pintu kamar Merin terbuka lebar. Diza tak paham, menyusul Ade. Ketakutan karena sendirian, entah kenapa bisa terlintas di pikiran wanita itu.
***
Di ruang tamu, Erina dan Dodi berangkulan. Eros berdiri di ambang pintu menuju halaman tak jauh dari ruang tamu, mengisahkan sebuah pertanyaan di benaknya. Sementara itu, Marina dan Ello duduk termenung. Hanya sunyi senyap.
"Mama! Papa!"
Teriakan keras itu membuat gestur lima orang terlonjak kaget. Kepala mereka berpaling ke arah pria dengan tubuh berisi—walau agak kurusan—berlari menghampiri.
Dodi yang pertama berdiri, menghadapi Ade yang penuh peluh. Dodi meraih tissu di meja, mengangkat tangan demi mengelap peluh tersebut di pelipis Ade. Seketika kening setengah kerut tiba-tiba semakin keriting.
"Ada apa, Nak? Kenapa teriak-teriak?" tanya Dodi selesai membersihkan keringat Ade. Sempat melirik Diza ikut mendekat. "Sampai-sampai kalian berlari," kelakarnya berniat bercanda.
Anak sulungnya menggeleng kuat, "Enggak, Pa, bukan masalah itu!" Ade meneguk saliva, menghirup udara. "Pa, di mana Merin? Kenapa Merin nggak ada di kamarnya? Lalu, kenapa barang-barangnya nggak ada? Semua kosong, Pa! Dan, dan aku nggak merasakan keberadaan Merin di sini?!"
Tarikan napas itu membuat Ade melayangkan banyaknya pertanyaan-pertanyaan. Akibatnya, betapa terguncang sang Ibu setelah mendengar kalimat itu hingga dirinya terisak.
Sekarang, Ade kebingungan melihat Erina menangis tersedu-sedu. Dodi menunduk, seperti menyembunyikan sesuatu. Lagi pula, Ade jelas-jelas melihat setitik air meluncur jatuh di kelopak mata itu.
"Pa, Papa kok, menangis?" Ade telanjur dibuat bingung. Hendak bertanya, fokusan mata menemukan Eros berdiri di belakang Dodi. Tatapan mata tak bisa diartikan. "Eros, kau kenapa? Kenapa kau lihat aku kayak begitu?"
Eros memasang ekspresi datar. Memerintah Marina membawa Erina pergi jauh dari ruang tamu. Sekaligus menyeret Diza ikut bersama dua perempuan sangat dihargainya. Kali ini, hanya delapan mata mesti berbicara tanpa ada halangan.
"Kita harus bicara, De," kata Ello di sebelah Ade, menepuk bahunya kemudian menekannya kuat-kuat hingga sahabatnya meringis.
"Bicara apa?"
"Pembicaraan sangat serius," lanjut Eros dingin.
Ade hanya terdiam membatu.
***
Dodi duduk tepat di hadapan Ade dengan meja kaca sebagai penghalang. Di sofa tunggal, Eros dan Ello juga duduk berhadapan. Mereka bertugas menginterogasi Ade yang duduk dengan pikiran campur aduk.
"Pa? Papa kenapa?" tanya Ade karena sedari tadi tak ada yang memulai obrolan.
Dodi menghela napas. "Kapan kau bertemu dengan Merin, Nak?" tanyanya sambil menatap kosong ke arah meja.
"Tiga-empat bulan yang lalu," jawab Ade pendek.
"Alasan dia ke sana karena apa?"
"Ingin bertemu denganku, Pa. Tapi, kata Merin, Papa dan Mama sudah izin selama dia libur kuliah," tukas Ade menceritakan sebab adiknya datang ke Jakarta.
Tubuh Dodi terasa bergetar. Berusaha menahan kegetiran ini. "Buat apa dia bertemu denganmu?"
"Karena aku nggak pernah sekalipun pulang. Jadi makanya, dia datang ke Jakarta demi menemui aku, Pa."
Eros dan Ello hanya saling pandang. Penjelasan atas pertanyaan Dodi membuat mereka seketika ingin melancarkan tinju ke wajah Ade.
"Kau tahu...," Dodi berhenti. "... dia sangat ingin bertemu kau, Nak. Dia kangen padamu. Betapa dia sayang kau. Sampai-sampai keadaan sekitarnya dia lupakan."
Kening Ade berkerut. "Maksudnya Papa, apa?"
"Lima bulan cukup untuk kami kehilangan." Dodi menahan isak. "Sebelum pergi mengunjungimu ke Jakarta, Merin kecelakaan. Sambil menahan sakit di bagian kepala dan tulang rusuk, Merin sempat mengucap namamu, Ade. Di akhir itulah, di jalan itu, Merin mengembuskan napas terakhir." Air mata Dodi meluncur jatuh. "Di sana, Papa masih bisa lihat hingga Merin merenggang nyawa."
Ade seketika terdiam. Membisu seperti batu. Bergeming tak mampu bersuara.
Kalimat Papanya, Dodi, membuat Ade mendapat kenyataan pahit. Selama lima bulan ini, Ade terus-menerus dibalut rasa bersalah karena menyakiti Merin. Adik paling manis, yang kini telah tiada.
Ade bangkit, perlahan mendekati Dodi melewati Eros di sisi kiri. Berlutut di sepasang kaki Dodi, meraih tangan kurus dan meremasnya. Ketika itu, air mata Ade menetes.
"Papa bohong, 'kan? Papa niat bohong sama aku? Merin nggak mungkin pergi kan, Pa?" tanya Ade bertubi-tubi, tak menghapus lumeran air mata dan ingus membasahi wajah.
Dodi bisu, tak mau kehilangan kendali.
"Jawab, Pa! JAWAB!" jerit Ade.
"ADE!" Eros dan Ello menarik tubuh Ade menjauh yang semakin histeris.
"Lepaskan aku! Aku butuh jawaban! Aku butuh jawaban mengenai adikku!" jeritnya menarik rambut kuat-kuat seraya bersimpuh.
Dodi hanya mampu memeluk anak laki-lakinya. Terasa menyengat bila mengingat peristiwa penuh sakit itu. Yang terlihat, hanya ratapan rasa bersalah.
Mulai saat ini, jeritan dan teriakan kesakitan Ade memekakkan telinga bagi yang mendengarnya.
Tbc
***
29 Juli 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Roda Waktu ✔️
Short StoryIngin bersama dengan kakak paling disayang, Merin meminta kepada kedua orang tua supaya diizinkan tinggal di Jakarta. Tersenyum merekah, bisa melihat dan tinggal seatap dengan sang kakak. Namun, kehadiran orang baru di antara mereka membuat masalah...