14

289 19 10
                                    

Waktu tak bisa diulang, lagi. Bahkan roda waktu takkan mampu berhenti. Lagi pula, ini sudah jalannya. Jalan Merin menemukan cahaya bagaikan lilin sebagai penunjuk arah.

Ade tercenung berulang kali. Sepeninggal ayah dan dua sahabatnya, Ade meratapi penyesalan tiada henti ketika membayangi kejadian demi kejadian di mana si Merin mengunjungi.

Tak disangka, Merin yang telah tiada, mengunjungi dan memeluk serasa tempatnya untuk pulang. Tempatnya untuk mengadu. Selama tiga tahun tak pernah pulang-pulang.

Sekarang, Ade memahami bahwa orang disayangi selalu menanti. Berbeda dengan orang disayangi ternyata suka menjatuhkan tanpa perkiraan. Sehingga Ade menemukan satu keputusan bisa merusak semuanya. Mengorbankan masa depannya.

Itu yang harus dilakukan. Karena ... dirinya terlalu mengamini dan orang itu menjadikannya tameng.

***

"Ada apa kau ajak aku ke sini, Sayang?"

Suara centil dan manja itu tak menggetarkan hatinya, lagi. Hatinya tergores cukup dalam. Pengkhianatan dan kepura-puraan selama ini.

"Aku nggak bisa menikah denganmu," ucap Ade mantap.

Diza terguncang, membelalak lebar. "Maksudnya?"

"Kau tahu apa maksudku," tukas Ade dingin. "Kau pasti mengerti bagaimana perasaanku yang kehilangan adik satu-satunya. Dan kau malah merengek-rengek seolah-olah kaulah korban."

Merasa dipojokkan, Diza tak tinggal diam. "Jadi, kau salahkan aku? Begitu?" Diza menggeleng tak percaya. "Kematian adikmu bukanlah kesalahan aku. Kau yang sangat bodoh memercayaiku. Kau kan tahu, aku paling nggak suka kedatangan adikmu itu."

Ade geram atas penjelasan Diza tak ingin disalahkan. Mengingat dirinya juga telah menyebabkan adiknya menangis. Waktu-waktu tak bisa disebutkan dalam satu kata. Andaikan.

"Kau ingat dia datang, kan?" Diza seakan bingung. Ade melanjutkan, "Merin datang, lalu kalian bertengkar. Entah di mana peringatan nggak aku sadari itu. Arwah Merin datang ke tempat kita. Selama 40 hari demi melaksanakan janjinya. Menjenguk diri aku."

Lagi-lagi, Diza terperangah.

Merin meninggal? Itu berarti, Merin waktu kunjungannya adalah penantian selama tiga tahun. Dan kini, Diza tak ingin berkata-kata.

"Baiklah, kita putus," tandas Diza selesai merenung nasib.

***

Ade mendekati ibunya yang terduduk di tepi ranjang. Hampa dan kosong. Dari pandangan mata tertuju begitu lurus ke depan.

"Ma,maafkan Ade." Setelah menghampiri, Ade berlutut di depan ibunya. "Tiga tahun adalah hadiah benar-benar membawaku pergi dari kalian. Bahkan aku nggak sempat ngomong untuk menanyakan kabar. Sungguh, aku terlalu egois, Ma."

Tetesan bening meluncur jatuh di pipi Erina. Mengulurkan tangan kemudian mendekap Ade yang terisak. Kehangatan memiliki Ade adalah paling terindah. Meskipun perempuan kecilnya pergi. Namun, anak laki-laki tetap paling berharga.

"Kau tetap anak Mama meskipun kau nggak pernah pulang-pulang. Cukuplah kau ambil pelajaran dari kisah di belakang. Kau pasti paham, mengapa Merin pergi, kan?" Erina mengusap lembut kepala anaknya, sisa tangan satu dibelai punggung tegap tersebut.

"Nggak seharusnya Ade bentak Merin, Ma. Ade sesali itu," isaknya mendekap Erina.

"Semua sudah terjadi. Jika takdir berkata seperti itu, kita nggak bisa berbuat apa-apa."

"Kalau bisa mengulang waktu, aku—"

Mengendur pelukan, Erina mendorong sepasang bahu Ade. "Enggak, Sayang, nggak boleh berpikiran seperti ini. Tuhan mengambil Merin karena sayang padanya. Supaya Merin dapat tempat yang layak di sisinya. Kau harus mengerti, Ade."

Kini, Ade paham arti dari kehidupan kemarin. Merin datang ke rumahnya untuk pamit. Walau tak tampak wajah sepucat mayat, tetapi binaran mata itu terasa nyata. Seketika jiwa raganya dihidupkan kembali.

Masa-masa empat minggu adalah hari sangat berarti. Untuknya dan kehidupan. Buat ke depan, Ade siap menjalani meski tanpa adik perempuan paling disayanginya itu.

***

Ade melayat kuburan Merin. Dengan sebelas potong bunga melati, Ade meletakkan bunga tersebut di depan nisan Merin. Tak ada lagi setetes air mata. Bersama tiga sahabatnya, Ade merasa siap untuk bertemu.

Mengulurkan tangan demi menyentuh nisan itu, Ade berucap, "Maafkan Kakakmu ini. Seenaknya tampar dirimu, daripada dengar keluh kesahmu. Hebat, bukan? Kakak lebih percaya wanita sempat Kakak sayangi ketimbang adik Kakak sendiri."

Eros, Ello dan Marina sungguh tak berniat memotong. Sembari menaburi bunga-bunga dan air, mereka tetap berdiam diri.

"Mulai sekarang, Kakak pindah. Di sini dengan Mama dan Papa. Kakak nggak ingin meninggalkan mereka sementara kau nggak ada. Jadi, Kakak mengundurkan diri dari tempat kerja Kakak."

Eros dan Ello kaget mendengar penuturan itu. Secara gamblang, Ade resign dan pindah ke kampung halamannya.

Ade tersenyum, entah mengapa. "Kakak tahu kau sudah maafkan Kakak. Kalau begitu, Kakak permisi dulu. Mau ke Jakarta bersama Ello, Eros dan Marina serta Papa juga Mama. Siap-siap merapikan barang-barang di sana." Sebelum pergi, Ade kembali sentuh nisan bernama Merin Cahaya. "Kau baik-baik di sana, ya? Jangan menangis."

Tanpa menoleh ke belakang, Ade melangkah. Ello d

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang