13

165 11 0
                                    

Waktu kembali keenam bulan yang lalu dengan Merin Cahaya sebagai tokoh utamanya kali ini. Sebelum pertemuan dengan sang kakak, Merin sedang menjalani proses perkuliahan. Tak segan menulis sisa-sisa materi di papan putih tersebut.

Merin tak berusaha mengenal diri, hanya sebagian dia kenal. Itu pun tak banyak. Ketidakhadiran kakaknya, Merin lupa bagaimana caranya berteman. Hilang strateginya ketika beranjak lulus SMA.

"Merin pulang!"

Gadis itu melepas tas punggung, melempar sembarangan. Desahan napas akibat kelelahan membuat Merin lupa meraih oksigen. Erina melihat anak perempuannya, tersenyum jua.

"Eh, anak Mama sudah pulang." Erina menowel pipi Merin yang cemberut. "Kenapa mukanya suntuk begitu? Ada apa?"

"Kapan Kak De pulang?" keluh Merin memberikan pertanyaan yang bikin dia lesu.

Erina meneguk saliva, berpaling dari Merin. Matanya nanar. Sembap berulang kali karena memikirkan sang anak tak pulang-pulang selama tiga tahun lebih. Banyak alasan dikemukakan membuat orang tua tak lagi memberi pertanyaan retoris.

"Aku kangen Kak De. Sejak Kak De dapat kerja di Jakarta. Mulai sibuk, Kak De nggak pernah sekalipun menjenguk kita. Sebabnya sibuk terus. Nggak punya waktu. Aku nggak punya nomor telepon Kak Ello dan Kak Eros atau Kak Marina, jadi nggak minta kabar Kak De," kata Merin sekilas melamun.

Tetesan sebuah titik air mata membuat Erina memeluk Merin. Dicium pelipis anaknya yang selalu pendiam akhir-akhir ini. Seperti kehilangan nyawa.

"Nanti kita ke Jakarta kalau Kakakmu nggak sempat pulang," tawar Erina telah memberi harapan bagi Merin yang berbinar.

"Benar, Ma?"

Erina mengangguk. Pasti. "Ya, Sayang."

Merin terlonjak bahagia, "Gyaaa! Makasih, Ma!"

Demi senyum lebar anaknya, Erina akan melakukan apa saja.

***

Hari ini, Merin dan orang tuanya akan pergi ke Jakarta. Maka dari itu, Merin menyiapkan segala perlengkapan menuju Jakarta. Rindu pada kakaknya membuat Merin ingin segera ke sana.

"Sayang, kita mesti beli kebutuhan selama perjalanan," kata Erina sembari memasukkan pakaian-pakaian Merin ke koper. "Pergilah sama Papa. Dia menunggu kamu di bawah," ujarnya tersenyum.

"Iya, Ma." Tak lupa, Merin sekadar bantu-membantu Erina. Takutnya Erina kecapekan, setelahnya. "Kalau selesai ini ya, Ma," katanya.

Erina sangat sayang pada Merin yang suka mengulurkan tangan demi membantu dan menjaganya. Erina bangga pada Merin yang tak mau orang tuanya kecapekan.

Selesai merapikan, Merin lantas bergegas menghampiri Dodi yang ada di mobil. Merin naik. Dapat balasan usapan di rambutnya, mobil pun meninggalkan garasi.

***

Kebutuhan selama perjalanan telah selesai. Merin lega karena sebentar lagi, kereta akan membawanya menuju Jakarta.

"Ah, Merin lupa." Gadis itu menepuk keningnya. "Merin lupa oleh-oleh buat Kak De, Pa."

"Ya ampun, Merin. Kenapa nggak dari tadi sebelum ke sini?" Dodi berpura-pura mengeluh, lalu dia tersenyum. "Ya sudah, hati-hati di jalan."

"Ya, Pa!"

Merin beranjak dari sana, berlalu ketika memotong jalan.

***

Bungkusan hadiah itu tak bisa mengikis senyuman gadis bernama Merin Cahaya. Dia tersenyum lebar karena pemberian itu akan diserahkan kepada kakaknya tersayang.

Terpaan sinar matahari tak membuat Merin kepanasan. Merin bahkan dingin merasakan embusan angin kota Surabaya. Menikmati alam yang diukirnya dalam hati. Tak dipungkiri, Merin lupa akan jalan sekitar. Apalagi lampu telah berubah ke warna hijau.

Sebuah benda beroda empat melintas, beradu cepat dengan kebisingan kendaraan. Memburu pada suatu tujuan. Namun, telah kehilangan kendali ketika melihat bayangan seseorang sedang menyeberang jalan.

Merin lupa mencegah dirinya dari kecelakaan. Memaku kakinya menancap jalan bergaris cat putih. Saat wajahnya menengok ke sumber klakson. Malah badan itu tertabrak, kemudian terpental ke atas. Mendarat ke aspal panas. Menyemburkan darah segar memenuhi jalan.

Teriakan membahana memancing pengguna trotoar dan jalan sekaligus toko-toko berjejeran. Mereka memanggil ambulans supaya lekas menolong gadis yang menggenggam hadiah di pelukannya.

***

Dodi tak kuasa menahan kesedihan saat anaknya merenggang nyawa sambil terkelungkup. Bukan hari hujan, langit meneteskan air mata. Beserta cahaya melingkupi badan Merin yang bersimbah darah.

Sirene terdengar di ujung jalan membiarkan Dodi berusaha mencapai anaknya yang hendak dibantu para pengguna jalan. Macetnya lalu lintas diusut oleh petugas Polisi.

Iringan suster-suster, Dodi berkata bahwa dirinya adalah ayah dari anak yang mesti mereka tolong. Meninggalkan kebutuhan serta mobilnya, Dodi tak ambil pusing. Yang dia butuhkan adalah anaknya bisa selamat.

***

Mengecek detak jantung, apakah masih berdetak. Juga oksigen supaya napas itu masih ada. Mencegek nadi, apa darahnya masih berjalan. Sembari membersihkan darah di bagian kepala dan tulang rusuk di bagian pinggang.

"Darahnya semakin banyak," keluh suster menekan darah itu.

"Napasnya tidak ada, Sus."

Kali ini dokter mengatakan bahwa detak jantungnya tak lagi berdetak. Suara itu hilang. Kata dokter yang bertugas merawat Merin yang pucat total, juga bibir yang membiru, gadis itu sebenarnya sudah meninggal sejak menimpa kerasnya aspal.

Benturan pada bagian otak dan tulang rusuk telah mengakibatkan tulang patah. Otak pun hancur. Hal itu mengakibatkan darah Dodi kian menipis. Kabar buruk itu membuatnya hancur.

Kini, Merin Cahaya dinyatakan meninggalkan dirinya bersama isterinya. Sebelum sempat bertemu Ade, kakaknya.

***

Isak tangis memenuhi kamar orang tua Merin yang terus dibalut kesedihan. Kepergian Merin begitu tiba-tiba. Berkat berita itu, sahabat-sahabat Ade datang mengunjungi mereka. Tanpa Ade.

"Maaf, Tante, Oom, Ade serta karyawan-karyawan bertugas ke Balikpapan. Demi melaksanakan adanya ketidak—"

"Nggak usah katakan lagi," kata Erina menggeleng.

Drastis sudah hidupnya tanpa Merin. Kini, tak ada Ade di sekitarnya. Sepertinya Erina tak mau dengar anak super sibuk itu lagi. Selama tiga tahun telah cukup membuat Erina dan Dodi mengerti.

"Jangan katakan pada Ade soal ini, ujar Dodi memasuki kamarnya.

Ello dan Marina menunduk.

Eros pun berkata dengan sulit sekali, "Kami ke sini bukan lupa bilang ke Ade tentang keadaan Merin. Tapi karena Ade jelas sekali nggak suka mendengar berita mengenai keluarganya."

"Sudah cukup," tegur Erina tegar.

Hanya keheningan mencekam suasana ruangan masih dipenuhi aroma kelelahan, keletihan, kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan.

Tbc

***

02 Agustus 2016

Roda Waktu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang