The Unspokens
4 — Another Notch
Jongin memasuki restoran yang disebut Krystal dan segera mendapati wanita itu duduk di sebuah bangku dengan banyak makanan di meja.
"You're late, Jongin. Sebenarnya aku takut kau tak datang, karena semua makanan ini mahal dan uang kiriman ayahku habis," keluh Krystal. Pria bermarga Kim itu mengangguk. "Ya, ya, Cantik, tentu saja aku yang membayarnya."
"Oh ya, Jongin," ujar Krystal sembari memakan sallad. "Kenapa kau memutus teleponku tadi?"
"Kau meneleponku?" Jongin bertanya heran, kapan kekasihnya ini menelepon? "Ya, tapi aku tidak mendengar apapun. Sedang apa sih kau waktu itu?"
"Kapan kau meneleponku? Tidak ada riwayat panggilan darimu, kok."
Krystal menggeleng, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan daftar panggilannya. "Kau melihatnya, kan? Ini tadi sekitar jam tujuh. Kau mengangkatnya dan diam saja? Kau tega membiarkan pulsaku habis begitu saja?"
"I'm sure there's no—"
Oh, dia mengingatnya. Jam tujuh berarti dia masih mandi sementara ponselnya ada di atas kasur. Ekspresinya menegang, rahangnya mengeras. Apa Tiffany yang mengangkatnya?
"Jongin? Hei!" Krystal mengibaskan tangannya di depanwajah Jongin.
Apa yang akan dilakukannya? Apa dia akan mengadu pada ayah dan ibu? Aku harus menutup mulutnya sebelum dia melakukannya!
|
"Tiff, nanti sampaikan salamku ya pada Luhan!" Bora berteriak ke arah Tiffany yang hendak masuk ke taksi. "I will!" jawabnya.
Luhan adalah sahabat kecil mereka, anggap saja teman sepermainan. Dia mau mampir kafe milik pria itu; melepas rindu boleh, kan?
Perjalanan ke sana hanya memakan waktu sekitar delapan menit. Ketika keluar dari taksi, seseorang menyambutnya dengan riang. "Oh my goodness, Tiffany! Long time no see!" Orang itu mengusak poninya.
Tiffany mengerucutkan bibirnya. "Luhan! Kenapa rambutku selalu jadi sasaranmu?!" Bukannya menjawab, orang itu —Luhan— justru menyentuh wajahnya dan mencubit kedua pipinya, "astaga, kau masih sama, ya? Lucu sekali!"
Si Hwang memukul pelan lengan Luhan dengan semburat memerah di kedua pipinya, kemudian mereka tertawa kecil dan masuk ke kafe milik pria itu.
"Jadi kafe ini milikmu?"
"Ya, tapi ini bukan satu-satunya pekerjaanku. Aku ini direktur di perusahaan ayah, asal kau tahu saja!"
Tiffany tersenyum lebar. "Terserah saja, Tuan Lu. Kau bisa berhenti membahas tentang pekerjaanmu itu sekarang."
"Bagaimana denganmu?"
Si Hwang menunjuk dirinya sendiri. "Aku?" Luhan mengangguk. "Aku seorang editor di sebuah media publikasi, tapi aku meninggalkan pekerjaan itu setelah menikah."
"Kau pasti senang bisa bergantung pada seseorang seperti dia...kudengar Jongin itu seorang pekerja keras."
"Ya," jawab Tiffany datar. Dan tidak pernah pulang tapi malah bersenang-senang bersama wanita lain.
Luhan mengernyitkan dahinya. "Apa-apaan dengan ekspresi itu?"
"Apanya?"
"Aku terlalu mengenalmu hanya untuk memahami ekspresi kesalmu itu, tahu," Luhan mendengus, "apa yang terjadi?"
Tiffany menghela napas panjang. "Uhm, I don't know if I'm allowed to feel this kinda awkward..." Luhan hanya diam, membiarkan Tiffany terus bercerita. "Kami menikah tanpa ada perasaan. Ini tentang bisnis dan mungkin kami akan bercerai segera setelah bisnis keluarga membaik." Wanita itu berucap persis seperti perkataan Jongin di restoran.
Luhan membulatkan matanya heran. "Kau...serius?" Tiffany menatap Luhan lurus-lurus. "Memangnya mataku terlihat meragukan?"
Pria itu mengusap punggung tangannya. "Bagaimana bisa—oh, sudahlah. I'll be right here if you need my help."
"Terima kasih, Luhan," jawab Tiffany sekenanya, "hanya...jangan buat aku terlihat menyedihkan."
|
Tiffany pulang ke apartemen mereka dan mendapati lampu-lampu masih gelap. Jongin pasti belum pulang, atau mungkin tidak pulang lagi? Whatever.
Dia masuk melangkah lantai demi lantai. Malas sekali menyalakan lampu, lagipula hanya ada dia di apartemen ini. Ketika melangkahkan melewati ruang tengah, tepat di atas sofa putih yang sering digunakannya tidur, di bawah keremangan,
Jongin dan Krystal...tengah bercumbu tanpa sedikitpun menyadari eksistensinya.
Dia kehilangan ritme napasnya. Bibirnya bergetar. Kakinya terasa goyah untuk sekedar menopang berat tubuhnya, dia perlahan mundur keluar dan terduduk di depan pintu.
Tidak. Harusnya aku tidak sedih!
Tapi dia menunduk,
No...not crying again!
dan menangis.
—to be continue...

KAMU SEDANG MEMBACA
The Unspokens
FanfictionJongin dan Tiffany adalah dua orang yang terjebak dalam sebuah perjodohan dan memutuskan untuk menjalani seperti seharusnya, tetapi bagaimana jika ternyata secara tidak sengaja mereka jatuh hati? [exoshidae; kaifany]