Aku mengompol dan Langit marah-marah.
Begini ceritanya, semalam Ome membuatkan kami es teh susu yang lezat nan nikmat dan segar. Ome berkata bahwasanya es teh susu itu dibuat agar aku dan Langit semangat mengerjakan PR. Aku hanya berdecih. Tidak perlu dibuatkan es teh susu, Langit yang sok rajin itu pastilah sudah siap dengan buku PR dan buku cetak yang bersampul plastik rapi. Dia kelewatan, keterlaluan rapinya. Bagaimana bisa, buku matematika yang dibuka setiap hari, dimasukkan ke randoseru merahnya tiap malam, dan dikeluarkan untuk mengerjakan PR tiap pukul tujuh itu masih mulus. Seakan-akan buku itu hanya diletakkan di lemari boneka dan tak boleh disentuh. Persis seperti lemari boneka Eyang Uti yang tak seorang pun boleh memeluk apalagi melempar-lempar boneka panda buntal atau boneka ikan cupang ke langit-langit.Maka jadilah aku duduk di meja makan bersama mug yang begitu besar.
"Biru, itu kan mugnya Ode," sahut Langit memeringatkanku. Pastilah dia iri sebab dia hanya menggunakan mug kecil, warnanya hitam, dan bertulisan tinta perak norak, Pernikahan Nau Aini dan Nick Thompson. 12 April untuk selamanya. Yang ada aku tergelak nyaris tersedak dan tidak peduli dengan ocehan Langit untuk mengganti mug. Memang sejak kapan memakai mug Ode jadi haram? Toh, Ode sedang jalan-jalan ke Kalimantan. Katanya sih ada seminar tentang implan koklea. Ode bilang koklea itu ada di telinga padahal koklea lebih cocok ada di mata sebagai teman retina, atau alat bantu pernapasan burung kalau trakeanya rusak. Tapi terserahlah, toh Ode bukan dokter Telinga Hidung Tenggorokan alias THT. Lantas, kenapa Ode harus menghadiri seminar itu kalau dia bukan spesialis THT? Jangan-jangan Ode sebenarnya ingin berjalan-jalan? Bertemu denga orang utan?
Aku menanyakan pada Ome sambil membawa mug besar itu.
" Nah, kan, tumpah. Sudah dibilang minum sambil duduk, nggak usah dibawa-bawa itu gelasnya," omel Ome tatkala aku berjalan setengah berlari menghampirinya untuk mengutarakan kecurigaanku perihal tujuan Ode ke Kalimantan. Ya, es teh susu itu berceceran di lantai. Akibatnya aku harus mengepel lantai pukul delapan malam. Dan tentu saja, aku lupa tentang kecurigaanku itu. Yang ada aku malah membongkar kotak DVD, mencari-cari DVD kehidupan orang utan.Aku hampir menangis menontonnya. Sumpah demi warna bulu orang utan yang seperti menggunakan cat rambut coklat, wajah orang utan sangat nelangsa. Kau tentu tahu kan, bahwa ada beberapa orang di dunia ini yang wajahnya memelas. Misal, wajah Abang Tukang Pancong -sengaja kutulis besar sebab itu namanya- yang kurus dan keriting. Atau wajah teman TK di kelas B2 yang tolong jangan bertanya padaku siapa namanya. Dia sangat menyedihkan. Matanya sayu, bibirnya mungil melengkung ke bawah, suaranya tertahan, rambutnya jarang, dan hampir tak pernah bicara. Aku tidak tahu apakah dia memang sedih karena dilahirkan di dunia, atau dia dipukuli ibunya.
Jadi, wajah orang utan itu amatlah nelangsa. Aku tidak bermaksud memiripkan teman TK yang berwajah menyedihkan dengan orang utan. Tapi aku teringat dia ketika melihat orang utan. Dan ketika TK aku lebih suka harimau sehingga ketika melihat wajahnya, aku tak memikirkan orang utan.Kemudian, seperti biasanya, ketika air mataku sudah berdemo di pelupuk mata minta dijatuhkan, membanjiri pipi dan isakan akan keluar -asal kau tahu wajah ibu orang utan yang memeluk bayinya itu sangat melas, seperti ia hanya punya uang 30 ribu dan anaknya hanya mau susu mahal- sehingga aku terenyuh. Kuminum es teh susu lamat-lamat mensyukuri Ome masih memberikanku susu meski bukan susu termahal di toko. Toh, terlalu banyak DHA juga tidak baik.
Iya, benar. Jadi anaknya teman Ode, sejak hamil ibunya rajin minum vitamin DHA, begitu pula saat bayi, dijejalkannya vitamin mahal itu ke mulutnya. Akhirnya, dia menjadi..."Memang PR matematika sudah selesai? Malah nonton orang utan,"suara Langit dengan nada mengejek terdengar.
Aku menoleh. Dia menggagalkan air mata yang mau tumpah. Ini tidak baik. Aku diam. Memang ad PR? Jangan-jangan Langit berfantasi ada PR.
" Udah belum PR pecahan halaman 127? Lima nomor doang sih," Langit menjelaskan tanpa diminta. Ia sudah tidak lagi memegang mug nista itu.
Orang utan di layar televisi kini sedang bergelantungan. Aku jadi teringat aku dan Dru, tadi siang baru saja bergelantungan di belakang rumah Dru. Di halaman belakang rumah mereka ada pohon nangka dan pohon mangga. Kami mencoba untuk berpindah dari pohon nangka ke pohon mangga yang sedang berbuah.
"Kamu pasti bisa, Bi. Aku aja bisa nih," Dru menyemangatiku. Aku mengayungkan tubuhku, satu tanganku mencengkram kuat ranting pohon nangka dan tangan kananku meraih ranting pohon mangga. Kemudian, aku lepaskan tanganku dari pohon nangka dan berteriak-teriak sambil mengayunkan badan. Ini menyenangkan. Tapi berakhir pilu sebab Dru dimarah ayahnya karena tingkah kami membuat mangga yang sedang berbunga itu tinggal cerita. Yang dimarah sih, Dru. Tapi kan aku merasa turut andil menggagalkan makan rujak mangga di bawah pohon nangka.Aku haus dan menegak es teh susu. Ome datang dan menanyakan PR.
"Nggak ada PR ah, orang kata Bu Lana pelajari halaman 127 di rumah. Kan cuma suruh pelajari,"jawabku ketika Ome bertanya tentang PR.
" Makanya dengerin itu jangan sepotong-sepotong, pelajari dan kerjakan tau," Langit ngotot.
Aku akhirnya mengalah. Mengambil buku tulis matematikaku yang ujungnya sudah tertekuk, sampul plastiknya tinggal cerita, dan buku cetak yang sampulnya sudah dibakar penjaga sekolah.
Jadi, aku minum es cendol saat jam istirahat. Entah setan apa yang datang, tanganku dengan bijaksana menumpahkan cendol itu ke buku matematika. Aku terpaksa merobek sampulnya. Dan sampai sekarang bau cendol itu masih menyeruak. Cendol basi.
Demi membahagiakan Paduka Nan Agung, siapa lagi kalau bukan Langit dan Ibunda Nalani Padmi, aku menulis jawaban PR matematikaku.
Sungguh, aku tidak mengerti kenapa kita harus belajar pecahan.
Bukan... aku bukan bicara begini karena aku mendapat burung terbang di angkasa kemarin. Tapi coba bayangkan, bayangkan! Seorang ibu punya kue, dibagi 5 orang berapa bagian perorang?
Nah, kita kan tidak tahu kapasitas perut atau lima orang itu suka tidak dengan kue itu. Jangan menyamaratakan dong. Ini kan bias. Lagipula, memang lima orang itu mau apa dikasih kue? Gimana kalau diantara mereka ada yang diet?Aku tidak mengerti.
"Sejak kapan soal cerita cuma ditulis jawabannya saja?" tanya Langit. Dia bertanya seakan-akan sedang menanyakan sejak kapan DN Aidit tenggelam dalam PKI atau Sejak kapan Wikana tercatut dal peristiwa Rengasdengklok.
"Sejak aku memutuskan mengerjakannya."
"Tidak bisa, harus ditulis diketahui, ditanya, dan dijawab," ujar Langit. Nadanya ngotot. Memaksa. Toh kan ini PR aku.
"Bu Lana kan perlu jawabannya, kalau baca soal dia juga tahu soalnya isinya apa, dan nanya apa."
"Tapi itu caranya ngerjain yang benar, Bi."
Dan selanjutnya kami bertengkar, sesekali aku menyeruput es teh susu hingga tandas. Lalu kami saling memekik. Lucu sekali, seperti adegan di sinetron yang ditonton Mbak Marni secara diam-diam. Sebab haram di rumah kami menonton manusia yang jadi pembantu saja pakai bulu mata palsu dan didempul.
Adegan sinetron yang pernah aku tonton bersama Mbak Marni adalah adegan saling berteriak 'kamu'. Dan berakhir salah satu diantaranya menangis. Tolong, ini logikanya di mana? Cengeng sekali, kecapean teriak 'kamu' malah menangis. Sejak itu aku memutuskan bahwa tanpa disuruh pun, sinetron haram bagi pertumbuhan mentalku. Sejak kapan rok pendek saat sekolah menjadi seksi. Apa tidak takut diintipi kawan lelakinya? Rok merahku yang di bawah lutut saja aku agak risih kalau Poki mulai melancarkan aksi meletakkan rautan berkaca di sepatunya. Apa indahnya mengintipi celana dalam wanita?
Maka ketika Poki berulang tahun, aku membelikannya sekotak celana dalam warna pink, biru muda, hijau mint dan putih yang bergambar Rapunzel. Saat pembukaan kado, aku memaksa kadoku dibuka sebagai salah satu dari 10 kado yang di buka. Wajah Poki merah membara seperti pakai perona pipi begitu melihat 6 celana dalam di kotak dengan tulisan Selamat ulang tahun Poki Raja Gukguk, semoga dengan ini kamu puas dan tidak mengintipi kami para perempuan.
Aku dengar dia nyaris digantung ayahnya. Tapi besoknya tak ada lagi intip celana dalam itu. Poki sudah puas rupanya. Mungkin celana dalam Rapunzel itu menghiasi dinding kamar Poki.
Ah ya, jam menunjukkan pukul sepuluh ketika aku menyerah. Menyerahkan diriku untuk mengerjakan soal dengan menggunakan diketahui, ditanya, dan dijawab meski aku menentang mengerjakan dengan begitu.
Tetapi aku harus berkorban agar Ome dan Langit diam.Pukul 11 malam aku ke kamar dan tidak tertarik berkemih. Langit masih sibuk dengan sikat giginya, entah mau berapa kali ia menyikat gigi. Aku tidak peduli.
Akibat memikirkan Poki, aku jadi bermimpi kelasku jalan-jalan ke hutan. Lalu aku kebelet pipis. Magnolia mengajakku untuk pipis di semak-semak dan menawariku tisu basah.
"Tetapi, rumput ini mati tidak kalau aku pipisin? Kalau mati gimana? Aku dosa."
"Udah deh, pipis aja. Ini kan tidak sengaja."
"Bagian mananya yang tidak sengaja? Aku kan dengan sengaja pipis di semak-semak."
"Sudah deh, cepetan daripada ngompol," bisik Magnolia.Akibat mimpi itulah aku bangun dengan celana basah, lengket, dan bau pesing. Langit menatapku dan memelototiku.
"Bayi, udah kelas 5 ngompol."
"Aku kan mimpi pipis. Nggak ada niatan buat ngompol."
"Biru, sejak kapan orang ngompol niat. Ah, malam ini aku mau ngompol ah. Nggak ada, " debat Langit.Dan sekarang, di sinilah aku. Di halaman belakang dengan peluh membanjiri wajah. Dasar kampret Langit. Dia nggak mau bantu aku menggotong kasur untuk dijemur. Untung saja Mbak Marni baik budi.
Tadi masih jam 6, mungkin tidak masalah aku berjemur barang sejenak. Sebelum ada yang berteriak.
Oh... angkasa indah sekali"Mandi Biru!" teriakan Ome terdengar. Kadang Ome memang gemar merusak keadaan.
12/6/16
12:26 am

KAMU SEDANG MEMBACA
Juni untuk Juli
PoetryJuni untuk Juli merupakan kumpulan racauan kacau, istilah untuk puisi yang tidak jadi yang dimulai 1 Juni diakhiri 27 Juli 2016. Serta beberapa kisah pendek yang ditulis masa lampau dan sekarang. © Plutopamit, 2016