Dear Ibu Tomitom

470 43 8
                                    

untuk kepergian yang kutangisi; sedang tanpa pernah ada salam perpisahan diantara kita; Rabu itu, kau masih baik-baik saja sebelum aku pergi untuk sementara.

dimanakah dirimu; hilang; dan kabar kematian.

darah, kepala, mobil, dan mungkin ia yang mengantarkanmu kepadaNya; tangis anakmu mencari, dan sanak-saudara yang gelisah. Bagaimana harus kukabarkan bahwa kamu telah tiada? Akankah mereka mengerti perihal kematian? Atau justru membenci dirimu yang tak pernah kembali? Jika saja mereka berpikir kamu tidak lagi peduli, bukan mati.

Kepedihan yang mengular dalam jalaran sesakku tak ada apa-apanya. Sekuat apapun aku terisak, dan jeritan yang tak berani aku teriakkan; sebab anakmu lebih dalam kehampaan.

Dan kenangan brengsek menguar. Fase-fase kau dilahirkan, mendewasa, menjadi ibu, dan selalu menyayangi anak-anakmu. Potongan gambar kau kecil yang petakilan hingga ibu yang penyabar. Aku tahu ada yang salah akan limbikku, yang mati rasa tiap duka pada manusia tetapi perasa akan duka kau dan segala binatang yang ada.

Sedang Tuhan lebih mencintamu dari aku dan keluargamu. Maka apalah daya, sayang. Jika saja ada bunga yang dapat kutaburkan; tanah yang bisa kusediakan; malangnya hanya tangis yang kuhantarkan. Mungkin, kau dikuburkan oleh dia sebagai pertanggungjawaban.

Sayang, rapal doa akan kuhaturkan. Selamat bertemu Tuhan, sayang. Berbahagialah dalam ribaan Dia. Jika ada yang bisa kulakukan tinggallah mengikhlaskan. Biar kau hidup dalam kenangan.

Untuk Ibu Tomitom.

17/7/16

Juni untuk JuliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang