Prolog

1.1K 56 7
                                    

"Kalau berani mencintai, berarti berani membiarkan hatimu naik roller coaster. Berani dibawa naik, diputar-putar, dan dihempaskan begitu saja. Namun hatiku rela menaiki roller coaster tersebut, asalkan kamulah yang menunggu dan menjemputku di pintu keluar wahana memusingkan itu."

"Astaga, maaf. Aku nggak sengaja, maaf ya. Kamu nggak apa-apa?"
Itu adalah kalimat pertama yang diucapkan Karsten, sahabatku sejak kelas 1 SMP, padaku. Dengan kalimat permohonan maaf itulah, kami berkenalan 3 menit sebelum bel masuk hari pertama sekolah berbunyi.

Pada saat itu juga, aku yakin bocah-kurang-ajar-asal-nabrak-nggak-pakai-mata satu itu punya bakat menjadi sahabat terbaikku. Alasan? Dia menjatuhkan kotak makannya saat menabrakku, dan makanannya tercecer keluar. Tidak seperti makhluk normal lain yang biasanya membawa nasi sebagai bekal makan siang, dia membawa ubi dan talas rebus. Persis. PERSIS. Persis sepertiku.

Oh, betapa polosnya aku dulu.

Dan saat ini, aku yakin bocah-kurang-ajar-asal-nabrak-nggak-pakai-mata yang sudah resmi menjabat sebagai sahabat terbaikku selama 6 tahun, punya bakat menjadi pacar terbaik di dunia! Alasan? There's too much to tell, let's ride my own roller coaster with me, you'll know.

***

Ups. Pernyataan di atas, boleh kuralat? Atau kubiarkan? Oh God. Aku benar-benar yakin bahwa aku tergila-gila dengan Karsten, sampai Kak Magdala masuk ke dalam hidupku.

Menurutmu, aku lebih cocok dengan siapa?

Ikuti ceritaku, ya, teman!

Karsten, ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang