Ini adalah hari ke 5 di Bandung. Aku pun sudah mulai sekolah di sini. Oh ya, sekarang Kak Magdala menjadi pengganti Kars selaku supir yang mengantar dan menjemputku sekolah (aku juga nggak ngerti kenapa bisa begini, padahal dia masih kuliah). Kami memang sudah mulai akrab, walaupun kadang masih agak canggung. Lepas dari kegantengannya yang agak bikin sesak napas, Kak Magdala orangnya baik banget, seru juga. We'll get along just fine, aku yakin.
Saat ini aku sedang berada di dalam mobil Jazz putihnya, duduk di sebelah Kak Magdala yang sedang menyetir dengan anteng. Dan lagi-lagi, aku sedang larut dalam pikiranku sendiri.
"Kal, gimana sekolahnya? Cocok?" Kak Magdala memecah keheningan yang sedari tadi nggak kusadari.
"Cocok, Kak," jawabku spontan.
"Kak, Kakak kenapa bisa antar jemput aku tiap hari? Kakak nggak sibuk kuliah? Atau Papa yang minta tolong Kakak?" tanyaku, nggak ingin terlihat terlalu pasif.
"Ah, nggak. Materi kuliah Kakak udah kelar semua. Hahaha. Memang kecepatan dibandingkan mahasiswa lain, tapi ya. Gitu. Memang udah siap duluan."
"Jadi sekarang Kakak lagi bikin skripsi?"
"Iya, udah mulai susun. Otomatis waktu yang Kakak punya berlebih-lebih, jadi bisa santai," jawabnya riang.
Aku mengangguk mengerti, kemudian mengeluarkan hape, membuka aplikasi LINE yang tidak memunculkan satu pun notifikasi dari kontak yang bernama Karsten D., dan mendesah pelan.
"Kamu suka Kars."
Mataku yang membulat langsung tertuju pada Kak Magdala. Mulutku terbuka, tapi nggak mengeluarkan suara.
"Benar?" tanya Kak Magdala, santai sekali.
"Ah, ini dia. Mahasiswa Psikologi," candaku, sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan.
Kak Magdala hanya tersenyum, kemudian melanjutkan. "Nggak perlu mahasiswa Jurusan Psikologi buat tau kalau kamu suka Kars, Kal. Orang awam pun bisa tau, jelas banget soalnya. Hahaha."
Aku nggak tahu mukaku sudah semerah apa sekarang.
"Nggak apa, Kal. Suka-sukaan itu wajar kok. Wajar banget, malah. Kalau nggak ngerasain ini, masa SMA kamu belum lengkap. Percaya, deh."
Aku hanya bisa cengengesan mendengar pernyataan Kak Magdala. Bisa apa aku, it's too obvious.
"Kakak sendiri, punya seseorang yang kakak suka?" tanyaku.
"Koreksi. Pernah punya. Dan koreksi lagi, bukan suka, tapi sayang. Atau cinta? Entahlah."
"Oh, begitu," aku mengerti maksudnya.
"Kal, kamu suka Kars, kalau Kakak tanya alasannya, kamu bisa jawab?"
Aku diam sebentar, kemudian melanjutkan. "Nggak, Kak. Aku nggak punya alasan."
Kak Magdala menoleh ke arahku, tersenyum, dan kembali menghadap kaca depan mobil. Hening cukup lama, hingga akhirnya Kak Magdala bersuara lagi. "Menurut Kakak, kita semua pasti punya alasan kenapa bisa mencintai seseorang. Nggak mungkin kita nggak punya alasan, itu terlalu naif. Yang benar, adalah bahwa alasan-alasan itu nggak cukup buat didefinisikan lewat kata-kata. Cukup kita sendiri, sebagai si pecinta, yang mengerti."
Aku tertegun mendengar pernyataannya barusan, aku merasakan sebuah klik. Pas, ini yang selama ini kurasakan. Bahwa sebenarnya alasan itu ada, tapi aku nggak tau. Nggak tau cara menuangkannya ke dalam kata-kata.
"Kal, udah sampai, nih," kata Kak Magdala disertai senyum super manisnya itu.
Dan hariku di sekolah baru akan segera dimulai, lagi.
***
Pukul 10.30, waktunya istirahat. Tapi aku lagi nggak pengen pergi ke kantin. Jadi di sinilah aku sekarang, di dalam kelas. Dengan seorang cowok rada-rada sinting yang terang-terangan bilang suka padaku di hari pertama aku masuk.
"Kaliska, kok nggak makan?"
"Eh? Lagi kenyang aja," jawabku seadanya.
"Nanti kalau sakit gimana? Cantiknya berkurang dong!" godanya. Menjijikkan.
Aku nggak lagi menggubrisnya dan memutuskan untuk mengotak-atik hape-ku.
Aku sedang sibuk mengetuk-ngetuk layar hape menggunakan jempol dengan kecepatan luar biasa (baca : main Piano Tiles) saat tiba-tiba sebuah notifikasi LINE muncul.
[10.34]
Karsten D. : Halo monyet! –manusia yang sedang belajar sejarah.
[10.34]
Kaliska Widi : Kars! Sejak kapan kamu jadi main hape pas pelajaran? Simpan nggak!
[10.35]
Karsten D. : Lah, kamu sendiri?
[10.35]
Kaliska Widi : Aku lagi istirahat. Cepat berhenti nggak!
[10.36]
Karsten D. : Aduh, galak amat. Iya, iya. Tapi ntar malem on skype ya.
[10.36]
Kaliska Widi : Iya, iya. Udahan ya. Belajar sana.
[10.37]
Karsten D. : Jangan lupa makan. Nanti aku chat lagi.Dan sebuah senyum kembali mengembang di wajahku.
Ting! Satu notifikasi lagi.
[10.38]
Magdala Unara : Kal, jam segini lagi istirahat, kan? Ganggu nggak?
[10.38]
Kaliska Widi : Iya lagi istirahat. Nggak kok, kenapa kak?
[10.39]
Magdala Unara : Entar malam jalan-jalan yuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karsten, Listen
Fiksi RemajaBersahabat dengan seorang Karsten yang sempurna di mata dara-dara seisi sekolah telah membuatku belajar banyak, merasakan banyak, dan menerima cinta yang banyak. Setelah hidupku jungkir balik karena kebangkrutan Papa, Kak Magdala masuk ke dalam hid...