#2 - School Routine

619 46 9
                                    

Aku melirik jam tanganku. Pukul 07.04, aku masih punya waktu 1 menit untuk bercermin sebelum aku turun ke ruang makan untuk sarapan. Aku selalu memutuskan untuk melakukan dan memulai sesuatu, saat jam menunjukkan menit ke-5, ke-10, ke-15, dan seterusnya. Aneh, tapi aku memang begini adanya. Aku pernah menceritakan kebiasaanku ini pada Karsten. Dan tebak, respon apa yang diberikannya.

Oh, ternyata monyet rabies bisa baca jam juga, ya?

Sial.

Anak itu, agak lain ya. Denganku, dia bisa menjadi siapa pun. Anak kecil yang rewel, teman diskusi yang kritis, makhluk gila yang otaknya hilang entah ke mana, sampai seorang pria yang ke-gentle-annya kuacungi 4 jempol.

***

Sebelum selesai mengunyah apel merah yang kupilih sebagai menu sarapan, terdengar suara rincingan sepeda. Kring, kring, kring.

"Ma, Pa, Kaliska berangkat dulu, ya."

"Eh, kok tumben cepat banget hari ini si Kars ngejemput kamu?" tanya Mama sambil mengunyah apelnya.

"Dia udah kapok mogok bicara sama aku, Ma," jawabku cengengesan.

Dan dengan menjawab pertanyaan Mama tadi, berakhirlah percakapan kami pagi ini. Aku melesat keluar rumah dan segera membuka pagar, tak lupa menyapa anak gila itu.

"Kars! Tumben cepat? Pasti bosan setengah mati ya, kalau lagi mogok bicara sama aku. Sampai sepagi ini udah ngejemput," ledekku.

"Nggak, aku cuma takut digigit monyet rabies aja," balasnya sambil tersenyum memamerkan barisan gigi putihnya yang rapi. Kurang ajar.

Kami memang selalu berangkat sekolah barengan sejak awal semester 2  di kelas 1 SMP. Aku ingat, hari itu dia yang menawarkan untuk mulai menjemputku setiap pagi. Alasan? Karena pada hari itu juga, aku terlambat sampai di sekolah kurang lebih 1 jam setelah bel berbunyi dan bukannya dihukum lari keliling lapangan seperti biasa, aku diperintahkan guru piket untuk memungut semua sampah di area kantin. Padahal, alasan keterlambatanku seharusnya bisa ditoleransi. Pagi itu, Papa dan Mama bangun kesiangan. Kenapa aku nggak coba membangunkan? I tried. Jadi? Kamar mereka dikunci dan aku sudah berusaha menggedor layaknya monyet rabies.

This is my life, people.

Dan karena aku selalu dibonceng oleh Karsten untuk berangkat dan pulang sekolah, juga karena kami hampir selalu terlihat barengan selain jam pelajaran, banyak orang mengira bahwa kami berpacaran.

Woi, liat Kaliska nggak?
Cari aja kepala Karsten, palingan nggak jauh-jauh dari sana. (tinggi Karsten 178 cm, nggak susah buat nyari kepalanya di kerumunan orang)

Guys, ada yang liat Karsten?
Yah, Karsten-nya aja nggak nampak, ya? Agak susah sih, soalnya Kaliska nggak bakal nampak kalo lagi ramai begini. (tinggiku cuma 156 cm, iya, aku sendiri sadar diri bahwa aku pendek)

***

Setelah melewati 7 jam melahap soal dan buku pelajaran (baca : saatnya pulang sekolah), biasanya Kars sudah siap siaga menunggu di depan kelasku, XII IPA D. Yah, bukan karena kelasku selalu yang paling terlambat bubar, sih. Cuma aku-nya aja yang selalu paling lambat untuk membereskan barang-barangku sendiri. Dan ini sudah menjadi tradisi. Kars yang menunggu. Aku yang ditunggu. Pernah sekali, aku duluan selesai dan menunggu di depan kelasnya. Bukannya pujian, yang aku dapat dari Kars malah sederet kalimat sialan.

Eh, gila. Tadi matahari terbitnya dari barat, ya, Kal?

Dan biasanya, setelah pulang sekolah, kami nggak akan langsung pulang ke rumah masing-masing. Aku akan mampir dulu ke rumah Kars, lalu kami akan bersarang di ruang tamunya, mengerjakan PR masing-masing dan mengobrol tentang apa pun.

Dan hari ini, inilah obrolan kami.

"Kars, Jepang atau Prancis?"

"Terlalu kontras, yang lain."

"Ya udah, Jepang atau Korea?"

"Jepang."

Aku mengangguk setuju.

"Giliranku, mencintai atau dicintai?" tanyanya ringan.

"Makan eskrim," sahutku.

"Knew you would answer that," balasnya cengengesan.

"Pacaran sekarang atau jomblo seumur hidup?" tanyanya lagi.

"Eh, eh. Ntar kalo kita debat karena masalah ini lagi, terus kita mogok bicara lagi, gimana, hah?", ancamku sambil mengangkat pena, membuat pose seakan-akan aku ingin menikamnya.

"Elah, Kaliska Widi. Sensi amat? Lagi PMS, Mbak?"

"Oh, anak IPS tau juga ya PMS tuh apaan?" ketusku.

"Ih, gila. Sok banget kamu, monyet rabies. Itu pengetahuan umum sejuta umat, Kal. Orang koma pun mungkin bisa tau kalau cewek di sebelahnya tiba-tiba sensi, 80% mereka lagi PMS. And FYI, Anda baru melakukan diskriminasi, tau nggak. Antara golongan IPA dan IPS, nggak manusiawi!" omel Kars dengan tampangnya yang sama sekali nggak mengandung ekspresi jengkel.
Kars, Kars. Anak sinting satu ini, liat aja tingkahnya. Ngomong selalu pakai kata 'kamu', tapi nggak pernah absen manggil sahabatnya ini 'monyet rabies'. Kadang aku prihatin ngeliatnya.

Jadi kali ini, aku memutuskan untuk pura-pura ngambek. Aku cuma memandang wajahnya, dengan ekspresi sinisku yang paling jitu. Dan nggak sampai 30 detik, Kars ngerocos lagi, "Kal. Ampun, Kal. Bercanda doang, jangan mogok bicara lagi, ya. Aku beliin es, oke?"

Setelah melahap 2 batang es lilin, Kaliska Widi kembali menjadi monyet rabies. Aku dan Kars pun kembali mengobrol, bercanda, dan tertawa sampai rahang kami berpotensi untuk lepas, sampai jam menunjukkan angka 6, pertanda bahwa Kars harus mengantarku pulang. Sebenarnya, Kars selalu nggak perlu mengantarku. Jarak rumah kami sangat dekat, cuma perlu 5 menit untuk pejalan kaki. Tapi dia nggak pernah sekali pun membiarkanku berjalan pulang sendiri.

Aku selalu menceritakan apa pun pada Kars. Apa pun. Kecuali satu hal ini — bahwa sejengkel-jengkelnya aku padanya, sehebat apa pun pertengkaran kami, dan seberapa lama pun kami mogok bicara, aku nggak akan pernah merasa kacau. Karena aku tahu dia selalu ada. Dan selama aku punya dia sebagai sahabatku, aku tahu aku akan selalu baik-baik saja.

***

P.s. If you're wondering, bahkan saat kami mogok bicara pun, Kars akan tetap menjemput dan mengantarku pulang. Cuma, ya, mulut kami udah kayak ditempelin lakban 5 lapis. Yap, kami memang seaneh itu.

Karsten, ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang