#16 - Am I Still...

290 20 3
                                    

———

Senin, 2 Desember 2015

Dear Kars,

It's been awhile since I wrote a horrible letter, for you. Walaupun kemungkinan besar surat ini nggak akan sampai tanganmu, kemungkinan loh ya, aku bakal tetap cerita apa pun yang kurasakan sekarang.

I'm doing great here.
What about you, Kars?
Yeah, sure. Selva is now your partner in almost everything, right?

Di surat pertama, aku terang-terangan bilang aku suka kamu, Kars. Dan di surat kedua ini, aku akan terang-terangan bilang bahwa aku meragukan perasaan itu.

Aku suka kamu, Kars.
Tapi sekarang, aku sudah nggak tau. Whether I like you as a bestfriend or a man.

Bilang aku labil, aku nggak jelas, aku nggak setia. Aku juga sadar diri, I'm fully aware of those shits. But why should I keep this one-sided love? Geez, this letter I'm writing is really pissing me, kata-katanya geli, Kars.

Mengingat kamu adalah cowok ter-gentle yang pernah kukenal, kalau misalnya kamu suka aku, you should've admitted it to me right away, right?

Don't worry, I'm enjoying myself here in Bandung. As you said, Kak Magdala is a living angel. And I bet you feel the same too, with Selva by your side.

Sincerely,
Kaliska Widi

———

"Kal, kamu suka Astronomi, kan?"

"Hm? Iya, Kak."

"Kamu suka merenung nggak?"

Aku berhenti membaca catatan Fisika dan mengalihkan pandanganku ke Kak Magdala yang saat ini sedang sibuk menggoreskan pensil di atas sketchbook-nya.

"Kamu pasti tau, secara umum, orang-orang akan melambangkan warna merah sebagai panas dan warna biru sebagai dingin."

"Iya, kayak di dispenser," sahutku.

Kak Magdala mengangguk.

"Tapi kalau bintang, justru yang warna biru itu yang panas kan? Yang merah yang dingin. Benar?"

Aku mulai mencerna perkataannya. "Iya, Kak."

"Apa yang kamu pikirkan sekarang?"

"Semuanya itu sebatas asumsi manusia," jawabku.

Kak Magdala menatapku, tersenyum lebar. Barisan gigi putihnya terpampang sempurna, dibingkai oleh lesung pipinya yang dalam.

"Cie, pemikiran kita sama. Kamu bisa baca pikiran ya, Kal?"

Aku ikut tersenyum. "Jodoh mungkin, Kak."

Shit.
Aku nggak tahu kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutku.

"Dasar." Senyumnya nggak pudar. Kak Magdala bangkit dari sofa, mengambil posisi duduk bersila di lantai, tepat di sebelahku, dan mengacak rambutku.

***

Alunan musik berjudul Start oleh Depapepe terdengar olehku, aku langsung melacak keberadaan hape-ku yang tertimbun buku-buku sekolah.

"Halo?"

"Hai, Kal!"

"Kenapa, Kars?"

"Yah, nggak ada. Pengen nelfon aja."

"Lagi nggak sama Selva?"

"Nggak, kenapa memangnya?"

"Pantes aja, baru nyari aku," candaku.

"Enak aja, mana pernah aku gitu."

Aku nggak merespon.

Kars bersuara lagi. "Kamu sendiri? Lagi nggak sama Kak Magdala?"

"Kak Magdala baru pulang."

"Emang kalian tadi lagi di mana?"

"Di rumahku, bersarang di ruang tamu."

"Oh," timpalnya singkat.

"Ngapain?" tanyanya lagi.

"Aku ngerjain PR, dia-nya menggambar," jawabku jujur.

"You're really enjoying this, aren't you?" Nadanya terdengar sedikit sumbang.

"Apaan, Kars?" tanyaku balik.

Dia nggak menjawab.

Jeda sebentar.

Aku mendengar Kars menghela napas panjang.

"Tadi Selva bilang suka, ke aku."

"Ah, Kars. Putus-putus. Sinyalnya nggak bagus kayaknya. Nanti aku telepon lagi, ya," bohongku.

Aku langsung memutuskan sambungan telepon dan menguburkan wajahku dalam tumpukan bantal sofa.

Kal, you're not into Karsten anymore.
You're not into him anymore.
Let him do whatever he wants.
Let him be with Selva.
You're NOT into him.

...but what if you're still into him?

Screw it, he's not even into you, Kal.

Aku mengangkat kepalaku, menghela napas panjang, dan kembali menggenggam hape-ku.

Aku mencari sebuah nama di dalam Phone Contacts-ku, dan menekan nomornya.

"Halo, Kak?"

"Hai. Kenapa, Kal? Barang Kakak ada yang ketinggalan, ya?"

"Nggak. Aku pengen ngeliat langit malam. Malam ini. Kakak mau ikut?"

Karsten, ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang