"Halo?"
"Hai, Kal," jawabnya, seriang seperti biasa.
"Sorry, Kars. Aku beneren lupa kemarin, serius. Sorry."
"Ah, nggak apa. Santai aja. Udah berangkat sekolah?" balasnya santai.
"Belum nih, Kak Magdala belum jemput."
"Kak Magdala?"
"Eh? Iya. Aku belum cerita ya? Yang antar dan jemput aku sekolah itu Kak Magdala, padahal aku agak nggak enak hati sama dia, Kars. Yah, soalnya kan dia masih kuliah juga, tapi dianya bilang ngg—," cerocosku.
"Bukan Papa kamu ya yang antar jemput?" potongnya.
"Bukan, sebenernya rencananya gitu dari awal. Tapi Kak Magdala terus nawarin, jadi ak—." Aku belum selesai ngomong.
"Oh, gitu. Jadi kemarin malam kamu ngapain, Kal? Ketiduran ya? Capek nggak sekolah di sana?"
"Aduh, Kars. Nanya satu-satu dong."
"Hahahaha santai dong, Kal. Fine, jawab yang kamu kemarin malam ngapain dulu, deh."
"Aku pergi dari sore, Kars. Dan aku nggak sadar hape-ku mati. Sampai rumah udah jam 10 kurang gitu," sahutku.
"Tumben kamu mau keluar jalan-jalan? Bukannya kamu paling malas ya biasanya? Mama Papa kamu ajak ke tempat makan enak, ya kan? Makanya mau. Wuuu."
"Ah, itu. Aku bukan pergi sama Mama Papa kali, Kars."
"Lah? Jadi?"
"Sama Kak Magdala."
Jeda sebentar.
"Kars?"
"Ah, iya. Sorry, Kal. Ada yang manggil aku. Sama Kak Magdala, toh? IYAAAAA, SEBENTAR MAAAA!" jawabnya tergesa-gesa, nadanya berantakan, setengah berteriak.
"IYAAA SEBENTAR, MA. BILANGIN BENTAR SAMA DIA. INI KARS UDAH MAU TURUN." Aku mendengar suara teriakannya.
"Kal, sorry. Aku duluan, ya. Udah ditingguin, nggak enak. Bye monyet! Belajar yang benar ya," katanya. Riang, tanpa beban. Seperti biasa.
"Ditungguin siapa?" tanyaku cepat.
"Selva. Nanti lagi ya aku telepon, bye, Kal!"
Sambungan telepon langsung diputuskannya.
***
"Nih." Kak Magdala menyodorkan semangkuk es durian padaku.
"Ini es durian terenak di kota, percaya deh."
Aku menerima sodorannya dan tersenyum singkat, lantas menyuapi diriku sendiri sesendok besar dari es tersebut.
"Lagi galau, Kal? Perasaan hari ini kamu agak diam," ujar Kak Magdala.
"Ah, nggak. Cuma kepikiran aja sama pelajaran tadi. Susah banget, Kak. Pusing aku ngeliat SKL UN nanti."
"Kal, lain kalau mau bohong latihan dulu dong," candanya, senyumnya tak pernah lepas.
"Ah, lupa." Aku ikut tersenyum.
"Kenapa? Si Kars ya?"
"Kakak tebak, ya. Masalah Kars dan Selva berangkat sekolah bareng?"
Mereka berangkat bareng?
"Jangan dipikirin, Kal. Sepeda Kars rusak, jadi Selva nawarin buat pakai sepedanya dulu. Berhubung rumah mereka nggak gitu jauh juga."
"Oh, gitu ya? Selva cerita sama Kakak?"
"Iya. Anak itu, udah berapa hari ngomongin Kars terus. Pusing Kakak. Hahaha. Saking lamanya nggak ketemu teman lama, sekali ketemu, jadi begitu deh," ujarnya santai.
"Cemburu yaaaa, Kal? Hehehe," godanya.
Aku nggak menjawab. Karena... buat apa? Kalau bohong nanti juga ketahuan.
Kak Magdala nggak bertanya lebih lanjut. Dan aku senang akan hal itu, aku nggak pengen ngomongin ini lebih lanjut.
"Habis ini mau ke mana lagi Kal? Makan ronde dua? Atau langsung pulang?"
"Ke taman, yuk. Kakak tau taman yang rumputnya bisa buat alas tidur nggak?"
"Eh? Kamu mau natap langit ala-ala sinetron terus meratapi nasib sambil pasang musik latar gitu ya, Kal?" tanyanya dengan nada bercanda.
"Kurang lebih begitu," jawabku setengah bercanda.
"Yuk."
***
Sekarang sudah pukul 17.03. Langit yang kutatap sekarang bergradasi biru oranye. Di pangkal langit, warna oranye tua menyeruak, diberi sentuhan sedikit pink dan kuning. Langit yang kutatap dengan kondisiku berbaring sempurna menatap tegak lurus ke atas, masih berwarna biru muda, sedikit oranye muda masuk. Gumpalan awan putih tipis memperindah apa yang kutatap sekarang. Aroma rumput yang saat ini kuhirup menenangkanku. Suara teriakan samar dari anak-anak sama sekali tidak menggangguku. Dan orang yang saat ini berbaring di sebelahku nggak menginterupsi, orang itu ikut tenggelam dalam indahnya alam.
Setelah puas bersemedi dalam diam, aku membuka suara.
"Kak, kita udah kayak di sinetron belum?"
"Udah, nih. Tinggal tunggu ada mobil nabrak kita aja, terus kamu-nya baik-baik aja. Kakak lupa ingatan, terus kamu nangis meraung-raung gitu. Terus akhirnya kita saling jatuh cinta, deh."
Tawaku meledak. "Ketahuan banyak nonton sinetron."
Kak Magdala ikut tertawa.
"Kakak sering ngelakuin ini juga, tapi pas malam. Natap bintang, bukan langit warna-warni."
"Oh ya? Enakan mana?"
"Hmm. Sensasinya beda, Kal."
"Kalau gitu entar aku cobain deh, natap langit malam."
"Oke. Jangan lupa ajak Kakak, ya."
Aku menoleh ke arahnya. Kak Magdala memejamkan matanya. Bibirnya mengukir sebuah senyum simpul, menampakkan lesung pipinya.
Aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama. Sebuah senyum juga bermain di wajahku. Aku tersenyum, setulus-tulusnya.
Saat ini, aku merasa nyaman. Dan aku ingin waktu berjalan sedikit lebih lambat saat ini. Aku hanya berharap alasan dibalik perkataanku ini adalah keindahan alam yang sedang kunikmati sekarang, dan bukan orang di sebelahku.
Aku sangat berharap demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karsten, Listen
Teen FictionBersahabat dengan seorang Karsten yang sempurna di mata dara-dara seisi sekolah telah membuatku belajar banyak, merasakan banyak, dan menerima cinta yang banyak. Setelah hidupku jungkir balik karena kebangkrutan Papa, Kak Magdala masuk ke dalam hid...